Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kritik MK, Rocky Gerung Salah Alamat

3 Juli 2019   04:20 Diperbarui: 3 Juli 2019   04:25 1498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu contoh kedunguan yang tetap dipelihara pasca putusan MK atas perkara sengketa hasil Pemilu 2019 dan penetapan capres terpilih oleh KPU adalah pernyataan si sesat pikir, Rocky Gerung ketika menyebut bahwa MK ibarat Mahkamah 'konstipasi' yang tidak mampu menghadirkan keadilan. MK seharusnya memasuki ranah etika karena kecurangan dipandangnya merupakan persoalan moral.

Akan tetapi,

1. Bukankah adil ketika MK menolak eksepsi pihak termohon dan terkait bahwasanya MK tidak berwenang mengadili perkara yang diajukan pemohon? Artinya, MK melanjutkan uji materiil atau persidangan dengan pengujian berbagai bukti, saksi, dan ahli.

Sebaliknya, adilkah pihak pemohon ketika melayangkan tuduhan, tapi tidak mampu membuktikan tuduhannya sendiri? Nah, apalagi menyoal moral dan etika. Apakah asal tuduh itu menjadi bagian karakter orang bermoral dan beretika?

2. Bukankah semestinya si Rocky dapat membaca seluruh pertimbangan hukum hakim yang runtut dan logis atas dalil-dalil pemohon? Dan, Bukankah adil dengan tidak satupun dari saksi atau ahli yang dilewati dalam pertimbangannya?

Sebaliknya, Adilkah Rocky mengomentari peran majelis hakim MK, tapi tidak mengritisi saksi dan bukti yang dihadirkan pemohon? Adakah ia menunjukkan bagian mana dari pertimbangan hakim yang salah? Sbab, Rocky hanya menyimpulkan bahwa MK memutuskan secara legal, bukan benar.

3. Semakin melantur ketika Rocky mengatakan bahwa MK itu buatan tuhan untuk melakukan judicial activism - mengambil diskresi yg absolut.

Agar tidak ngalor-ngidul dipersepsikan, mungkin tuhan yang ia maksud ini MPR a.k.a lembaga tinggi negara yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945. Sedangkan, MK berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar .

Namun, apa yang ia artikan dari diskresi? Faktanya, hakim MK harus menimbang dan memutuskan berdasarkan konstitusi. Justru ketika ia membuat diskresi, maka masih dipertanyakan tentang tolok ukur yang baku sebagai transformasi nilai konstitusionalitasnya meskipun peran subyektivitas hakim itu dominan memperngaruhi pertimbangannya.

Pertimbangan hakim MK tidak dapat pula dipersamakan dengan diskresi petugas polantas yang bisa sewaktu-waktu mengubah arah lintasan kendaraan.

Sifat putusan MK yang final dan mengikat mengandung makna bahwa terdapat domain obyektivitas dalam pertimbangan hukumnya. Obyektif yaitu menuntut hasil yang sama dari perlakuan yang sama atas suatu perkara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun