Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mega Pragmatis, Prabowo Idealis Usung Anies

25 September 2016   22:44 Diperbarui: 26 September 2016   11:52 2180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasangan Ahok-Djarot akhirnya resmi maju ke Pilkada DKI 2017 dengan diusung oleh PDIP, Golkar, Nasdem, dan Hanura. Koalisi kekeluargaan lalu terpolarisasi antara Prabowo dan SBY. Skenario telah mereka persiapkan jika PDIP mengusung Ahok karena peta kekuatan terbagi dalam tiga poros, yakni Megawati, Prabowo, dan SBY. Tarik-menarik kepentingan dalam ajang pilkada turut mewarnai. Kesamaan ideologi tidak menjadi garansi perwujudan koalisi.

Di sisi lain, Mega dihadapkan pada dilema akan pilihan ideologis atau pragmatis. Ia diharapkan untuk memilih calon gubernur dari kadernya atau melalui mekanisme penjaringan. Koalisi kekeluargaan bahkan siap berkoalisi dengan PDIP jika Risma dicalonkan. Namun, PDIP sulit mencari posisi tawar ketika berhadapan dengan Demokrat, Gerindra, dan PKS. Ketiga partai itu memiliki basis massa yang kuat di Jakarta.

Sebaliknya, Golkar dan Hanura hanyalah partai menengah di Jakarta. Nasdem masih gurem. Basis massa mereka tidak besar dan banyak dihuni oleh swing voters. PDIP tak jauh berbeda. Terbukti saat Mega menjadi presiden ke-5, suara PDIP tak mampu mengungguli Demokrat dan PKS di Pileg DKI 2004. Hanya perolehan kursi DPRD tahun 2014 yang membuat partai berlambang banteng itu tampak besar.

Tak dipungkiri, Pilkada DKI 2012 menyumbang Jokowi effect dalam perolehan jumlah kursi fraksi PDIP di DPRD DKI. Kebetulan Demokrat mulai kehilangan kepercayaan publik pasca tertangkapnya Nazarudin oleh KPK tahun 2011. PKS juga terbelah dalam dua kubu yang menolak dan mendukung Foke. Akan tetapi, atmosfer jelang Pilkada DKI 2017 berlaku sebaliknya. PDIP malah terpecah.

Suara PDIP terbelah menjelang pilkada baik pro maupun kontra Ahok. Setelah keputusan bahwasanya PDIP mengusung cagub Ahok, perpecahan di tubuh PDIP tak dapat dihindari. Kemenangan PDIP di Pileg DKI 2014 tak menjamin loyalitas dukungan dari kader dan simpatisannya. Salah satunya, Boy Sadikin yang mengundurkan diri dari keanggotaan partai. Ia adalah mantan Ketua DPD PDIP DKI.

Maka, pilihan yang menguntungkan bagi PDIP adalah koalisi dengan Golkar, Nasdem, dan Hanura yang lebih dahulu mendukung Ahok. Dengan modal jumlah kursi terbesar, PDIP mampu mendominasi transaksi politik dalam koalisinya. Transaksi setidaknya mencakup soal sumber pendanaan Pilkada DKI. Terlebih, PDIP memerlukan biaya sangat besar dalam rangka konsolidasi dan kerja mesin partai dalam pilkada serentak di 101 daerah pemilihan.

Berbeda halnya dengan Mega, kali ini Prabowo tidak terlena dalam pola pikir pragmatis. Anies Baswedan diberikan kesempatan sebagai calon DKI 1 dengan didampingi oleh Sandiaga Uno. Ia merupakan figur yang karismatik dan berpengalaman dalam birokrasi. Menurut survei Poltracking, Anies mempunyai elektabilitas yang tinggi sekalipun belum melakukan safari politik. Keduanya tidak berasal dari kader partai.

Tak ketinggalan, PKS terbuka memandang kontestasi Pilkada DKI seperti yang dulu dilakukannya di Solo. PKS mendukung Jokowi menjadi wali kota pada periode kedua. Keterbukaan itu menjawab kepentingan nasionalisme karena ibu kota mewakili kebhinnekaan. Ini seyogyanya dimaknai sebagai pembelajaran bahwa nuansa primordial tak lagi laku jual di era demokrasi. Primordialisme justru menjadi bumerang jika ditunggangi guna meraih simpati publik.

Seandainya Prabowo bersikap pragmatis, Gerindra bergabung dengan poros Cikeas bentukan SBY. Koalisi enam partai cukup menjanjikan. Apalagi, potensi suara dukungan kepada Ahok terpecah. Tapi, pengkhianatan Ahok di masa lalu membawa hikmah tersendiri bagi Prabowo. Ia tidak ingin berspekulasi atas rekam jejak seseorang. Faktanya, Prabowo mengusung sosok bersih yang tidak lahir dari egoisme elit partai.

Dan, Anies tidak pernah terlibat dalam kepentingan oligarki partai. Ia adalah mantan menteri pendidikan sekaligus pelopor gerakan Indonesia Mengajar. Dunia pendidikan menjadi bagian utama sepanjang karir dan prestasinya. Keberadaannya menyuguhkan antitesa atas Ahok. Anies memusatkan perhatian untuk kemanusiaan, sedangkan Ahok menitikberatkan pada pembangunan fisik Jakarta.

"Kota ini adalah kota proklamasi, pusat kegiatan perekonomian, dan kota metropolitan ini harus bisa menjadi kota yang suasananya menyenangkan, suasananya bersahabat. Bukan saja bangunannya dibangun dengan tepat waktu, bukan saja kita memastikan fisiknya baik, tapi juga budayanya baik, masyarakatnya baik," ujar Anies, Sabtu (24/9/2016) - Detik.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun