Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mirna tak Mati Keracunan Sianida?

7 September 2016   21:46 Diperbarui: 27 November 2017   03:41 6065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ong Beng bersaksi untuk Jessica. | Foto: Tribunnews.com

Persidangan Jessica telah memasuki babak ke-19, tetapi kasus kematian Mirna semakin kabur dari dakwaan jaksa selaku penuntut umum. Pertama, jaksa tidak mampu membangun konstruksi hukum di balik pengenaan pasal pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) kepada Jessica. Kedua, dakwaan jaksa hanya berlandaskan circumstancial evidences yang saling bertentangan atau kontradiktif antara keterangan para ahli dan surat/dokumen berikut bukti-bukti yang ditunjukkan dalam persidangan. 

Sejak kasus kematian Mirna mencuat ke media dan Jessica ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, saya telah menulis tiga artikel terlampir yang memaparkan kemungkinan bahwa:

1. Mirna tidak meninggal karena pembunuhan melalui penggunaan racun sianida;

2. Jessica tidak melakukan pembunuhan atau menabur racun sianida ke dalam minuman es kopi vietnam yang dikonsumsi oleh Mirna.

Kedua hal tersebut memiliki ketergantungan dimana poin (2) menjadi valid jika poin (1) dibuktikan kebenarannya. Lantas, apakah poin (1) dapat dibuktikan?

Pertama, jaksa tidak mampu membangun konstruksi hukum di balik pengenaan pasal pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) kepada Jessica

Jaksa mendakwa Jessica menabur racun sianida ke dalam kopi Mirna, tapi tidak membuktikan adanya penguasaan racun oleh Jessica. Tidak terdapat jejak bahwa ia memiliki atau bersinggungan dengan sianida. Penguasaan kopi yang berada di depannya selama menunggu Mirna di Kafe Olivier tidak pula berarti bahwa ia menaruh racun ke dalamnya. Hal ini didukung oleh ketiadaan rekaman CCTV yang menunjukkan perbuatan terdakwa yang menaruh racun. Selain itu, tidak ada saksi yang melihat kejahatan yang dituduhkan secara langsung. Maka, pertanyaan tentang bagaimana Jessica memperoleh dan menabur sianida tidak terbukti (Lihat: Segitiga pembuktian pembunuhan Mirna).

Kedua, dakwaan jaksa hanya berlandaskan circumstancial evidences yang bertentangan atau kontradiktif antara keterangan para ahli dan surat/dokumen berikut bukti-bukti yang ditunjukkan dalam persidangan

Jaksa menghadirkan ahli toksikologi forensik, digital forensik, psikologi, dan kriminologi. Ahli toksikologi dari puslabfor Polri melaporkan hasil pemeriksaan barang bukti (BB) berupa antara lain:

a. kopi yang positif sianida dalam gelas (BB I) dan botol (BB II);

b. sampel organ lambung yang positif sianida (BB V);

c. sampel organ hati dan empedu yang negatif sianida (BB VI);

d. urin yang negatif sianida (BB VII).

Namun, hasil pemeriksaan forensik yang dilaporkan yaitu sampel organ jenazah yang diambil atau specimen itu berselang tiga hari setelah Mirna dibalsem dan bertentangan BB IV yang diperoleh 70 menit pasca kematian Mirna (sebelum pembalseman) dan BB VI.

"Cairan lambung yang diambil 70 menit setelah kematian Mirna tidak ditemukan ion sianida," kata Ong Beng Beng di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ong adalah ahli patologi forensik dari Universitas Queensland yang bersaksi untuk terdakwa Jessica. Kesaksiannya berdasarkan dokumen klinik dari RS Budi Waluyo dan visum et repertum dari puslabfor Polri RS Kramat Djati. Ia menambahkan, sianida tidak ditemukan dalam empedu, hati dan air seni Mirna meskipun mengandung sianida 0,2 mg/L dalam lambung. 

Kandungan lambung itu terlampau kecil untuk mengindikasikan bahwa Mirna keracunan sianida. Dan, pengambilan sampel dilakukan tiga hari setelah kematiannya. Pembusukan pasca kematian (post mortem) dapat memproduksi sianida secara alami dalam tubuh jenazah. Apabila Mirna benar-benar menenggak cairan bersianida dalam jumlah besar, jejak-jejak iritasi semestinya ditinggalkan di mulut dan kerongkongan. Akan tetapi, saksi ahli patologi forensik RSCM Djaja Surja Atmadja tidak menemukan bau sianida dari mulut jenazah Mirna sewaktu diformalin.

Djaja turut mendukung keterangan dari Ong yang mencakup:

1. kematian Mirna tidak dapat disimpulkan penyebabnya akibat otopsi menyeluruh tidak dikerjakan terhadap jenazah. Dokter forensik sekadar menyimpulkan kematian atas dasar pengambilan sampel organ;

2. pemeriksaan toksikologi hanyalah salah satu pertimbangan bagi dokter forensik untuk menyimpulkan penyebab kematian;

3. cairan lambung yang negatif sianida menunjukkan Mirna tidak meninggal karena racun sianida;

4. kandungan atau konsentrasi sianida dalam lambung jenazah terlampau kecil jika sebelumnya Mirna meninggal karena keracunan sianida. Minimal konsentrasi berjumlah ratusan mg/L pada kasus keracunan sianida;

5. tidak ditemukan sianida dan tiosianat dalam hati/liver seperti hasil visum et repertum.

Terlebih, Djaja menegaskan bahwa seseorang yang mati oleh racun sianida niscaya ditemukan sianida dan tiosianat dalam hatinya karena manusia memiliki sistem detoksifikasi (penetralan racun) dalam hati dengan enzim rodanase. Jika keracunan, berarti racun itu melebihi kemampuan detoksifikasi tubuh seseorang. 

Artikel terkait:

Kasus Mirna: Kejahatan atau Kecelakaan?

"Intellectual War" Kasus Mirna Lawan Cocoklogi Polisi

Komnas Ham Curigai Ayah Mirna, Polisi Paksakan Status Tersangka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun