Pengumpulan formulir KTP dukungan untuk pasangan Ahok-Heru dikabarkan telah melampaui jumlah 900 ribu. Teman Ahok tentu bersusah payah agar target 1 juta dukungan tercapai. Jelas susah gara-gara mulut Yusril yang agak bocor menyebut formulir mereka dulu tidak sah jika tidak dilengkapi dengan nama satu pasang bakal calon. Mau tak mau mereka mengulang pengumpulan formulir yang diperoleh dari tahap pertama ketika Ahok belum memiliki pendamping bakal cawagub. Payahnya, semua formulir mesti dicermati supaya tidak terjadi insiden #TemanAhoknyolongKTP.
Terkait insiden, tidak seketika salah bila seorang ibu mendaftarkan KTP anaknya. Toh, tidak terdapat aturan KPU bahwa KTP dukungan wajib diserahkan sendiri oleh warga yang bersangkutan. Panitia hanya perlu konfirmasi kepada pemiliknya. Sebab, ada resiko diduga penggelapan dan pemalsuan. Apapun mekanisme pengumpulan yang diterapkan, terlalu besar resiko dipertaruhkan jika terjadi pelanggaran karena dapat menyebabkan KPUD tidak meloloskan pasangan Ahok-Heru. Tidak hanya mencoreng kehormatan, mereka dapat dikriminalisasi.
Teman Ahok tentu percaya diri akan dukungan sebanyak itu, sehingga Ahok dan Heru merasa yakin untuk terus maju di jalur perseorangan. Tapi, mengapa akhir-akhir ini justru berhembus rumor tak sedap dari mereka? Belum tampil berdua dengan visi dan misi membangun Jakarta, kok malah menyebar isu cerai di tengah jalan. Kalau masih setia, tidak perlu plin-plan menanggapi pertanyaan wartawan. Selain menimbulkan spekulasi Heru mundur, respon yang tidak tegas menandakan kemungkinan Ahok berpindah haluan ke jalur politik.
Misal pas Heru ditanya benar atau tidaknya isu, ia justru meminta Ahok yang menjawab. “Tanya Pak Ahok saja! Lha, dengan pasangannya saja tidak bebas bersuara, bagaimana nanti menghadapi partai politik? Ahok lantas menegaskan hubungan mereka tetap mesra. Namun, ia menyinggung nama Djarot yang sempat digadang-gadang untuk berpasangan dengannya. Djarot kemudian berlagak jinak-jinak merpati. Ia siratkan hubungannya dengan Ahok ibarat pasangan paling mesra, tapi sayangnya tidak direstui.Â
Tampaknya, pernyataan Ahok tak lebih daripada taktikveta comply agar ia diperhitungkan kembali oleh PDIP. Jika Heru mundur, Ahok seakan mendapat justifikasi untuk meninggalkan jalur perseorangan. Sikap Djarot dapat dipersepsikan kesempatan kedua atau cuma angin surga karena sepenuhnya tergantung perintah Megawati. Disini konsistensi Ahok bersama pendukungnya diuji. Banyak orang mendukung Ahok atas pertimbangan independensi dan kejengahan terhadap oligarkhi partai politik.
Pasca Munaslub Golkar meloloskan Setya Novanto sebagai Ketua Umum, arah dukungan politik kepada Ahok sudah diprediksi. Kedekatan Setnov dan Luhut memperkuat kemungkinan aliran dukungan kepada Ahok dalam Pilkada DKI 2017. Tapi, dukungan itu baru sebatas komunikasi simbolik non-struktural. Selama Ahok sekadar didukung oleh parpol, ia tidak disokong dengan mesin partai. Artinya, bukan hanya Ahok yang bisa bermain dua kaki. Parpol juga menerapkan standar ganda. Rasionalitas untung-rugi berperan dominan.
Bagaimanapun, Golkar, Nasdem dan Hanura cenderung berkoalisi ketimbang bekerja sama dengan relawan. Mereka tidak mempunyai tokoh lokal yang menggenjot elektabilitas partai di Jakarta, sehingga koalisi diharapkan menjadi kompensasi guna memperkuat posisi tawar mereka di parlemen. Sementara partai pemenang belum menampakkan gelagat calon yang diusung, mereka bergerak di balik figur Ahok.
Mengapa Ahok? Pertama, asumsi bahwa popularitasnya mendongkrak eksistensi partai. Padahal, figur yang populer belum tentu disukai. Kedua, pragmatisme politik dengan motif bisnis. Elit partai gemar menjalin koneksi dengan para pengusaha. Perjanjian Ahok dan pengembang reklamasi merupakan sinyalemen bahwa dirinya seorang pelobi dan oportunis. Ketiga, partai membutuhkan perpanjangan tangan yang mau menanggung resiko tinggi di sela-sela hukum. Gubernur berada pada posisi strategis dalam pengaturan kebijakan pemerintah provinsi sejak rezim otonomi daerah.
Sebaliknya, Golkar, Nasdem dan Hanura tidak berpengaruh signifikan bagi Ahok untuk memenangkan kontestasi pilkada jika tidak berkoalisi. Bandingkan saja perolehan suara mereka masing-masing di Pileg DPRD DKI 2014 dan dukungan KTP untuk Ahok, terpaut jauh. Mereka tidak berani memastikan jumlah suara akar rumput yang mendukung Ahok. Hanura misalnya, mayoritas simpatisan partai berasal dari masyarakat pinggiran dimana Ahok kurang mendapat apresiasi. Karena itu, Ahok berusaha mencari cara atau trigger agar terbentuk koalisi untuk mengusungnya. Salah satunya, isu Heru mundur.
Bangunan koalisi Golkar, Nasdem, dan Hanura mencukupi jumlah minimal suara fraksi yang dapat mencalonkan pasangan cagub dan cawagub. Dan, pendukung Ahok sebagian menyambut positif arah dukungan politik dari Golkar. Sebagian yang lain tetap mengharapkan Ahok bergabung PDIP. Pertentangan ini wajar karena karakteristik pendukung dipengaruhi dengan subyektivitas penilaian atau keberpihakan terhadap partai politik.
Adapun Teman Ahok tidak menutup pintu bagi parpol untuk mengusung Ahok. Seperti diakui, mereka hadir akibat kekhawatiran Ahok tidak memiliki partai pengusung. Tujuan utama mereka ialah Ahok menjabat lagi sebagai Gubernur DKI. Lantas, mungkinkah PDIP mengusung Ahok? Ya, mungkin jika beberapa hal dikondisikan sebagai berikut:
1. Ahok tidak bernaung di bawah koalisi Golkar. PDIP mempunyai track record berseberangan dengan partai berlambang pohon beringin itu. Perubahan haluan politik Golkar merapat ke pemerintah semakin mempertajam perebutan kekuasaan antara keduanya.
2. PDIP mengingkari tradisi partai dengan mengusung calon di luar kadernya tanpa melalui mekanisme internal dalam rangka penjaringan bakal cagub.
3. PDIP tak lagi ideologis, merakyat atau mengadvokasi kepentingan "wong cilik". Dengan demikian, PDIP rela melepas basis dukungan dari kantong-kantong masyarakat pinggiran dan kelompok idealis yang berpihak pada kaum miskin kota.
PDIP menjadi pro konglomerasi dan tidak peka terhadap isu kemiskinan kota. Proyek reklamasi adalah fakta bahwa rezim pembangunan semasa kepemimpinan Ahok tidak bersifat kerakyatan.
4. PDIP terjebak dalam sentimen SARA. Tidak dipungkiri bahwa rencana penggusuran Luar Batang membangkitkan isu agama. Ahok yang sedari awal mengeksploitasi keminoritasannya diperhadapkan dengan warga muslim akibat kebijakan semena-mena tentang penertiban hunian.
Faktanya, PDIP sebagai partai nasionalis memerlukan basis suara kelompok Islam. Ini dibuktikan saat Mega merangkul Hasyim Muzadi pada Pilpres 2004. Hasyim dikenal tokoh fundamentalis di kalangan NU yang berbeda dengan Gusdur yang lebih menonjolkan karakteristik kyai abangan.
5. PDIP menampung pembangkang konstitusi. Kebijakan Ahok dalam pembelian lahan Sumber Waras dan reklamasi di Teluk Jakarta menunjukkan dirinya tidak patuh terhadap Undang-undang. Ia tidak menjalankan sumpah jabatan lepas dari kemungkinan ia bersih atau tersangkut korupsi.
-------------***------------
Artikel terkait:
Ketika Teman Ahok Jadi Bantalan Politik Dua Muka Sang Petahana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H