Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gagalnya Skenario Suap Reklamasi Teluk Jakarta

30 Mei 2016   22:57 Diperbarui: 30 Mei 2016   23:02 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua agenda penting di ibu kota pada Februari 2016. Pertama, penertiban kawasan Kalijodo dan kedua, rapat pembahasan raperda reklamasi (Baca: Tata Ruang Kawasan Strategis) di Badan Legislatif Daerah DPRD DKI. Setelah terungkapnya pengakuan Ariesman yang dirilis Koran Tempo (11/5), telihat benang merah antara kedua agenda tersebut. Penertiban Kalijodo disebut terkait proyek pengurang kontribusi tambahan. Berita Acara Rapat Ahok dan empat pengembang tertanggal 18 Maret 2014 memperjelas kepentingan APL di kawasan ini.

Ahok juga mengakui adanya kesepakatan proyek jalan inspeksi dengan perusahaan itu. Temuan memo permintaan dana sebesar 6 miliar di kantor Ariesman masih diselidiki oleh KPK, sehingga menjawab kemungkinan kesepakatan lain antara Ahok dan APL. Penertiban hunian di Kalijodo pun melapangkan jalan bagi pengembang. Isu prostitusi dan miras hanyalah bumbu penyedap yang menutupi aroma asli penggusuran. Argumentasi yang dibuat pasca kecelakaan maut pengemudi mabuk ibarat jauh panggang dari api.

Namun, publik terlanjur terkesima dengan pemberitaan. Media dan pengamat sibuk mengulas latar belakang dan riwayat lokasi penggusuran. Pegiat kemanusiaan tak luput disibukkan dengan pengaduan warga gusuran yang tidak mampu membaca narasi sang dalang. Mereka yang coba menghubung-hubungkan Pilkada 2017 dan kebijakan Ahok tidak memungkiri fakta bahwa kawasan Kalijodo merupakan jalur hijau. Justru, lontaran isu pilkada malah menjauhkan persoalan sebenarnya yaitu tentang proyek reklamasi dan kontribusi tambahan.

Kini, alur cerita terkuak. Nasib hidup mereka telah diputuskan melalui perjanjian preman. Janji demi izin reklamasi dan kontribusi tambahan yang realisasinya gagal di tengah jalan. Tak lagi perlu diperdebatkan siapa yang akan menikmati proyek itu karena Kalijodo telah tergadaikan, Aquarium diratakan, dan Luar Batang hampir tersingkirkan. Hanya orang-orang amoral yang menutup mata akan ketidakadilan. Apalagi, kebijakan Ahok untuk melahirkan perjanjian dengan pengembang sama sekali tidak mempunyai payung hukum.

Skenario yang menguntungkan pengembang

Orang yang mencetuskan ide kontribusi tambahan dianggap bak pahlawan seolah melupakan hukum sebagai panglima. Memang cocok ia digambarkan mirip superhero yang bertindak outlaws. Padahal, penarikan kontribusi tambahan yang tidak berpayung hukum tidak bisa dipertanggungjawabkan dan diterapkan. Jangankan kontribusi tambahan ilegal, perjanjian yang mencantumkannya saja tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Maka, Pemprov DKI tidak dapat menjelaskan asal-muasal angka 15% tambahan kontribusi dan sebatas menyebut dasar perjanjian adalah diskresi gubernur.

Di sisi lain, beberapa hal berikut patut dicermati:

1. Ada perjanjian yang disepakati oleh Ahok dan empat pengembang yang tertuang dalam Berita Acara tanggal 18 Maret 2014;

2. Terbit empat SK izin pelaksanaan reklamasi kepada keempat pengembang, sedangkan peraturan Rencana Zonasi (RZWP3K) belum ada dan Perda No. 1 tahun 2012 tentang Tata Ruang DKI 2030 baru diusulkan revisi ke DPRD DKI menjadi Perda Tata Ruang Kawasan Strategis;

3. RZWP3K adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum pelaksanaan reklamasi berdasarkan UU No. 27 tahun 2007 dan turunannya Perpres No. 122 tahun 2012;

4. Salah satu pengembang, MWS yang terlibat dalam perjanjian tidak memenuhi AMDAL sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 tahun 2009 dan Perpres No. 122 tahun 2012 mengenai izin lingkungan sebagai syarat pemberian izin pelaksanaan reklamasi. Penjabaran izin lingkungan terdapat dalam PP  Nomor   27   Tahun   2012. Karena itu, Menteri LHK, Siti Nurbaya menyegel pulau G atau Pluit City;

5. November 2015, Pemprov DKI mengajukan raperda RZWP3K dan revisi Perda No. 1 tahun 2012. Mengapa setahun sesudah perpanjangan izin prinsip, raperda baru diusulkan ke DPRD DKI? Diduga akibat konfrontasi masalah perizinan reklamasi antara Menteri KKP, Susi Pudjiastuti dan Ahok. Bahkan, Susi sedang menyiapkan langkah-langkah untuk moratorium proyek reklamasi;

6. Anggota Balegda DPRD DKI awalnya menolak pembahasan yang diajukan karena merasa dilangkahi kewenangannya oleh gubernur dengan terlebih dahulu menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi. Sebagian anggota dewan juga menentang. Tapi, akhirnya usulan dua raperda reklamasi lolos ke Balegda. Ada apa tiba-tiba terjadi perubahan sikap anggota dewan?

Berangkat dari poin pertama sampai keenam terlihat upaya pemaksaan izin pelaksanaan reklamasi dan dua raperda. Selain itu, Biro Hukum seharusnya tahu bahwa pengenaan kontribusi tambahan belum memiliki landasan hukum dan diskresi tidak dapat berwujud kerja sama bisnis antara pemprov dan pengembang. Mengapa diadakan perjanjian?

Diduga perjanjian dibuat untuk dibatalkan oleh kedua belah pihak atau disangkal oleh salah satu pihak. Perjanjian tanpa payung hukum dan Akta Otentik tidak dipertanggungjawabkan kepada pihak ketiga, yakni pengadilan. Artinya, perjanjian tidak dapat digunakan sebagai bukti yang kuat jika timbul perselisihan antara para pihak atau ada gugatan dari pihak lain.

Dugaan skenario diperkuat dengan fakta bahwa raperda Tata Ruang Kawasan Strategis yang mengandung pasal-pasal aturan tambahan kontribusi melalui pembahasan yang alot. Dan, suatu raperda memiliki batasan pembahasan dalam satu masa sidang, sehingga penundaan pembahasan yang berlarut-larut bisa menyebabkan raperda batal lolos ke Paripurna DPRD.

Sebaliknya, pembahasan raperda RZWP3K lebih awal dijadwalkan dalam Rapat Paripurna tanggal 22 Februari 2016 dan tinggal meminta persetujuan lisan dari anggota dewan serta penyerahan simbolis raperda yang disetujui kepada gubernur (Lihat: Agenda Kegiatan DPRD DKI). Sayangnya, tidak tercapai kuorum karena banyak anggota dewan yang tidak hadir.

Jika benar dirancang skenario pembatalan pembahasan raperda Tata Ruang Kawasan Strategis dan sekadar meloloskan raperda RZWP3K, maka penyuapan kepada Sn ditujukan untuk itu. Dengan kata lain, penyuapan ditujukan agar satu raperda batal disyahkan. Batalnya raperda ini dapat dijadikan alasan untuk mengulur waktu realisasi atau membatalkan perjanjian yang disepakati sebelumnya. Dengan demikian, pengembang bisa terus melaksanakan reklamasi dan melaksanakan pembangunan dengan tidak terbebani tambahan kontribusi.

Sebab, syarat pembangunan di pulau reklamasi ialah IMB atas dasar izin pemanfaataan ruang yang menyesuaikan Rencana Zonasi. Izin pemanfaatan ruang telah diatur dalam Perpres No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Tanpa Perda Rencana Zonasi, pengembang tidak boleh membangun karena alokasi area dan peruntukannya belum ditentukan. Setelah memperoleh IMB, pengembang akan leluasa menawarkan lahan komersialnya. Akan tetapi, skenario ini urung berhasil karena DPRD membatalkan pembahasan dua raperda itu sekaligus dan pemerintah pusat memutuskan moratorium.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun