Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok Terperangkap, KPK Siap Garap

28 Mei 2016   00:38 Diperbarui: 28 Mei 2016   00:56 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaksanaan reklamasi Pulau G atau Pluit City oleh PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan Agung Podomoro Land tbk). Foto: Bisnis.com.

Kedua hal tersebut tidak terpisahkan karena termuat dalam Berita Acara dimaksud. Namun, kapan Ahok mulai bicara mengenai diskresi? Sejak perseteruan sepanjang tahun 2015 terkait izin reklamasi dengan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti, ia tidak pernah memakai istilah diskresi. Ahok selalu menggunakan argumentasi menurut Keppres No. 52 tahun 1995. Ia juga mencatut nama Fauzi Bowo sebagai justifikasi kelanjutan izin reklamasi kepada pengembang (Lihat: Ingat, Ahok Catut Foke soal Reklamasi Teluk Jakarta).

Setelah pemerintah pusat memutuskan moratorium proyek reklamasi 17 pulau, Ia pura-pura merasa tidak bersalah dan mengalihkan isu pada tumpang tindihnya aturan. Justru, Menko Kemaritiman Rizal Ramli menjelaskan bahwa peraturan yang lama dikalahkan oleh peraturan baru yang lebih tinggi kecuali ada pasal pengecualiannya. Bagaimana mungkin keppres dijalankan jika menyalahi Undang-undang? Rizal mengumumkan moratorium usai rapat kerja Menteri KKP dan LHK bersama Komisi IV DPR.

Nah, keppres saja gugur, apalagi cuma diskresi kepala daerah! Kendati demikian, perlu diketahui benar atau tidaknya perjanjian antara Ahok dan pengembang disebut diskresi. Pada dasarnya, diskresi dalam pemerintahan merupakan peraturan kebijakan yang dibentuk berdasarkan kewenangan bukan dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan kebijakan melekat dengan suatu jabatan dan besifat searah atau sepihak yang berasal dari pemegang kewenangan.

Terlalu dangkal jika menganalogikan diskresi pejabat gubernur dengan petugas polisi lalu lintas. Tapi, terdapat kesamaan bahwasanya kebijakan yang diambil bukan merupakan hasil persetujuan. Apakah iya, polisi harus sepakat dulu dengan pengendara untuk mengatasi kemacetan? Begitu pula, Ahok tidak dapat mengatasnamakan diskresi terhadap kesepakatannya dengan pengembang. Rusak republik ini jika kebijakan pemerintah adalah hasil kesepakatan dengan pengusaha, misal kontrak karya PT Freeport dan pemerintah rezim Soeharto sejak 1967.

Oleh sebab itu, kini pemerintah tidak boleh menjadi pihak yang terikat dengan perjanjian atau kerja sama bisnis. Salah satunya, sistem kontrak karya antara negara dan perusahaan tambang lantas diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan berdasarkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Kedaulatan pemerintah terjaga sebagai regulator. Sebaliknya, perjanjian yang dilakukan oleh Ahok menyurutkan langkah reformasi dan merusak sistem ketatanegaraan yang puluhan tahun terabaikan di masa orla dan orba.

Tidak saja Ahok menyalahtafsirkan diskresi, ia sekaligus melangkahi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur reklamasi. Contohnya, Ahok terbitkan izin pelaksanaan reklamasi bagi PT Muara Wisesa Samudera pada Desember 2014 atas Pulau G meskipun AMDAL tidak terpenuhi dan baru disegel oleh Menteri LHK. Padahal, UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diberlakukan terhitung Oktober 2014 dan mengamanatkan setiap kebijakan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.

-----------***-----------

Artikel terkait:

KPK Bisa Tetapkan Ahok Tersangka Proyek Reklamasi

Ahok Gelisah, KPK Bongkar Perjanjian “Preman”

Ngaco, Ahok Bilang Perjanjian Preman Legal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun