Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok Gelisah, KPK Bongkar Perjanjian “Preman”

17 Mei 2016   18:07 Diperbarui: 17 Mei 2016   18:35 2197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masukan rumusan pasal kontribusi tambahan dalam pembahasan raperda Rencana Strategis. Sumber: Detik.com

Pucuk dicinta ulam tiba adalah peribahasa yang tepat menggambarkan sepak terjang KPK mengungkap kasus suap raperda reklamasi Teluk Jakarta. Jika dalam kasus pembelian lahan Sumber Waras, KPK tak berkutik atas kewajibannya menindaklanjuti audit investigatif BPK. Maka, kali ini bukti pelanggaran tersaji di depan mata oleh pengakuan Ahok sendiri dengan adanya perjanjian kerja sama dengan para pengembang proyek reklamasi.

Latar belakang pemberian izin pelaksanaan reklamasi telah terkuak. Dan, penyidik KPK tinggal menelusuri apakah hal itu merupakan pelanggaran yang disengaja atau kelalaian. Modus barter proyek reklamasi dengan kontribusi tambahan 15% terjadi. Strategi Ahok memuluskan perizinan memang tergolong berani. Tak tanggung-tanggung, dialah yang menginisiasi perjanjian terselubung antara pemprov DKI dengan perusahaan pengembang.

Perhatikan fakta-fakta di bawah ini!

1. Koran Tempo (11/5) melansir berita tentang pengakuan Ariesman Widjaya, tersangka suap raperda reklamasi kepada M. Sanusi, Ketua Komisi D DPRD DKI. Pengakuan Ariesman terkait dana 6 miliar yang diminta oleh Ahok silakan baca di sini. Lalu, pemimpin redaksi Tempo telah mengklarifikasi bahwa berita itu berdasarkan sumber yang valid -merespon pertanyaan Ahok yang keberatan atas pemberitaan redaktur. Tentu saja kerahasiaan narasumber dilindungi dengan kode etik Pers. Namun, Ahok tidak melanjutkan niatnya untuk menggugat Tempo guna hak koreksi supaya publik tahu kebenaran sesungguhnya. Pada posisi ini Tempo unggul;

2. Ahok mengakui perihal dana swasta yang dipakai dalam penertiban kawasan Kalijodo meskipun ia membantah dana 6 miliar yang dikatakan Ariesman untuk mengerahkan personel pasukan gabungan TNI/Polri. Ia berdalih honorarium aparat penertiban bersumber dari APBD DKI. Keterangan Ahok kemudian dibantah oleh anggota Banggar DPRD DKI, Prabowo dan memang tidak terdapat anggaran khusus penertiban hunian di Kalijodo;

3. Ada pertemuan antara Ahok dan para pengembang sesuai Berita Acara Rapat Pembahasan Kontribusi Tambahan. Menurut Ahok, mereka menyetujui besaran kontribusi 15% yang akan dikurangi nilai proyek-proyek yang diminta oleh Pemprov DKI sebagai syarat memperoleh izin pelaksanaan reklamasi. Selanjutnya, kesepakatan mereka dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama;

4. Sehubungan dengan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada poin (3), Ahok menggunakan diskresi yang diatur dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Padahal, perjanjian kerja sama bisnis tidak termasuk penyelenggaraan pemerintahan yang dijelaskan dalam Undang-undang itu. Diskresi hanya dipergunakan dalam lingkup administrasi pemerintahan jika mengalami kendala akibat suatu hal yang belum diatur, peraturan tidak jelas atau tidak lengkap;

Berita Acara Rapat Pembahasan Kontribusi Tambahan antara Ahok dan Pengembang. Sumber: Detik.com
Berita Acara Rapat Pembahasan Kontribusi Tambahan antara Ahok dan Pengembang. Sumber: Detik.com
5. Ahok beralasan menggunakan diskresi karena belum ada payung hukum berupa perda reklamasi. Di sisi lain, diskresi menabrak UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Undang-undang mewajibkan pemerintah daerah menyusun Rencana Zonasi dan Rencana Strategis (Tata Ruang Kawasan) yang ditetapkan melalui perda sebelum memberikan izin reklamasi;

6. Perpanjangan izin prinsip dan pelaksanaan reklamasi yang diterbitkan oleh Ahok tidak berdasarkan perda reklamasi yang menyebabkan proyek reklamasi dimoratorium oleh pemerintah pusat. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mendapati teknis reklamasi tidak memenuhi AMDAL dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis;

7. Ahok berupaya memasukkan kontribusi 15% dalam raperda reklamasi (Tata Ruang Kawasan) yang pembahasannya berulangkali tertunda karena tidak tercapai kuorum dan terakhir tidak dilanjutkan atas putusan Pimpinan DPRD DKI menyikapi kasus suap yang menjerat M. Sanusi.

Penyuapan itu masih simpang siur duduk persoalannya karena kasus belum dilimpahkan ke pengadilan, tetapi Ahok tampak mengalihkan isu pada bahasan isu kontribusi tambahan sebesar 15% yang hendak dinegosiasikan oleh pengembang. Ini kontradiktif pasalnya perjanjian antara Pemprov DKI dan pengembang sudah jauh-jauh hari disepakati dan proyek-proyek juga telah dijalankan (Lihat poin 3). Apakah mungkin perusahaan mau mengerjakan proyek jika tidak mengetahui dan menyepakati nilai proyek itu akan mengurangi besaran kontribusi tambahan tertentu?

Upaya Ahok ditolak DPRD melalui ketua Balegda M Taufik. Mereka mengusulkan agar angka kontribusi 15 persen tidak dicantumkan dalam raperda, tapi dalam peraturan gubernur dan tim eksekutif sebaliknya menolak. Setelah itu, muncul lagi usulan agar tambahan kontribusi dibuat dalam perjanjian kerjasama antara gubernur dengan pengembang sebesar 5 persen. Usulan ini ditunjukkan kepada Ahok dan direspon dengan disposisi bertuliskan, "Gila kalau seperti ini bisa pidana korupsi!" (7/4) -Detik.com. Lha, mengapa ia tidak sekalian nyatakan bahwa perjanjian preman yang dibuatnya juga merupakan tindak korupsi? Oo.. begini rupanya. Perjanjian preman itu dipaksakan termaktub dalam perda, sehingga berkekuatan hukum dan menghilangkan aroma illegal.

Pantas saja Ahok naik pitam ketika membaca pemberitaan Tempo seputar perjanjian terselubung itu dengan merilis pengakuan dari Ariesman Widjaja. Sebelumnya, ia juga tidak pernah terbuka mengungkapkan keberadaan perjanjian itu kepada publik. Ahok malah kelabakan meminta klarifikasi dari KPK mengenai informasi yang beredar. Bukankah seharusnya KPK yang bertanya kepada Ahok benar atau tidaknya perjanjian tersebut?

Hmm, lirik lagu Matta Band kayaknya cocok untuk mengiringi artikel ini.. Oo, kamu ketahuan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun