Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membongkar Strategi Ahok Memuluskan Proyek Reklamasi

17 Mei 2016   07:37 Diperbarui: 22 Mei 2016   07:32 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya, gubernur dan Bappeda selalu berdalih menggunakan Keppres No. 52 tahun 1995 sebagai acuan hukum untuk memberikan izin reklamasi kepada para pengembang. Setelah rapat kerja Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dan Komisi IV DPR, pemerintah melalui Menko Kemaritiman Rizal Ramli kemudian menegaskan bahwa undang-undang menempati hirarki yang berada di atas keppres atau perpres. Peraturan lama dikalahkan oleh peraturan baru yang lebih tinggi kecuali terdapat pasal pengecualian. Undang-undang yang dimaksud ialah UU No. 1 tahun 2014 tentang perubahan dari UU No. 27 tahun 2007.

Presiden juga memberikan pernyataan bahwa pemerintah tidak mencampuri kasus hukum yang terkait reklamasi meskipun pemerintah akan terus melanjutkan proyek Garuda atau giant sea wall. Megaproyek reklamasi (NCICD) sebenarnya mencakup reklamasi pulau dan pembangunan tanggul laut raksasa, tetapi publik umumnya tidak membedakan dan menganggapnya satu bagian dengan proyek reklamasi 17 pulau. Sembari tim gabungan lintas kementerian melakukan kajian dan pembenahan carut-marut aturan perizinan dan teknis proyek pulau reklamasi, presiden menginstruksikan agar proyek Garuda tetap berjalan.

Pendelegasian kewenangan perizinan reklamasi pulau dari Susi kepada Ahok tidak menghapus kewenangan pemerintah pusat untuk mengawasi dan mengendalikan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Sebab, UU No. 1 tahun 2014 memberikan kewenangan atributif kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dalam regulasi proyek reklamasi. Kewenangan atributif adalah kewenangan yang diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh UUD 1945 atau Undang-undang. Terbukti, tim gabungan telah menyegel Pulau C, D, dan G menurut Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

***

Tahun ini hampir 3 bulan media mainstream terus-menerus menaruh perhatian besar pada sengkarut proyek reklamasi. Bahkan jauh sebelum penangkapan M. Sanusi, Ketua Komisi D DPRD DKI beserta dua tersangka lainnya dari pihak pengembang, Kompasiana telah banyak bertaburan artikel yang mengupas berbagai pelanggaran hukum dalam megaproyek itu. Beberapa di antaranya pun menjadi viral lewat jejaring sosial dan media warga lainnya. Adapun operasi tangkap tangan KPK yang diikuti kebijakan moratorium dari pemerintah pusat menjustifikasi bahwa reklamasi di Teluk Jakarta sarat dengan skandal.

Kritik terhadap proyek reklamasi seakan mencapai anti-klimaks seiring kebijakan moratorium atau penghentian sementara dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Kuantitas artikel menyoal reklamasi juga tampak surut kendati masih tersisa sekelumit persoalan di balik perizinan reklamasi yang diterbitkan oleh Ahok. Perizinan yang melanggar peraturan perundang-undangan tidak berdiri sendiri dan niscaya terdapat hal yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, diketahui apakah pelanggaran tersebut mengandung unsur kesengajaan atau kelalaian. Adakah modus pejabat publik menyalahgunakan kewenangan?

Koran Tempo edisi 11 Mei merilis pengakuan Ariesman Widjaja, tersangka penyuapan kepada M. Sanusi sehubungan dengan pembahasan raperda reklamasi di DPRD DKI. Substansi raperda yang hendak dinegosiasikan masih simpang siur, tetapi bahasan yang mengemuka dan disinggung oleh Ahok sendiri ialah pasal kontribusi tambahan sebesar 15% yang wajib dibayarkan oleh pengembang kepada Pemprov DKI. Ariesman mengakui sejumlah proyek yang disepakati dengan pemprov guna memperoleh izin reklamasi dari gubernur. Ia juga menyebut perusahaannya (PT Agung Podomoro Land tbk) memenuhi permintaan dana sebesar 6 miliar dari Ahok untuk menertibkan hunian di kawasan Kalijodo.

Ahok membantah pengakuan Ariesman, tetapi membenarkan bahwasanya terdapat dana swasta dalam penertiban kawasan jalur hijau itu. Ia menganggap dana itu bisa saja berasal dari dana CSR (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) perusahaan. Pantas jika BPK Jakarta tidak mendeteksi aliran dana swasta dari pengembang karena tidak dimasukkan dalam APBD. Dengan kata lain, dana tersebut ilegal atau tidak memiliki payung hukum. Dana CSR seharusnya terlebih dulu masuk ke APBD apabila dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan operasional pemerintah daerah dalam anggaran honorarium kepada aparat penertiban.

Sedangkan, proyek-proyek yang disepakati oleh Ahok dengan perusahaan pengembang tercantum dalam perjanjian “preman” dari hasil pertemuan mereka di Balai Kota semasa ia menjabat wakil gubernur. Dan, lagi-lagi Ahok berdalih bahwa perjanjian itu mempunyai dasar hukum sebagai bentuk kerja sama dan pemerintah daerah berwenang melakukan diskresi ketika perda reklamasi belum ada untuk menarik kontribusi tambahan 15%.

"Dalam UU Nomor 30 Tahun 2014, tentang administrasi pemerintahan, kita punya hak diskresi ketika pulau izinnya habis perlu disambung. Kalau Anda mau sambung (izin), tapi enggak ada perda gimana, makanya kami buat perjanjian ini," kata Ahok - (12/5) Kompas.com.

Padahal, UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mewajibkan syarat Rencana Zonasi dan Rencana Strategis yang ditetapkan melalui perda sebelum pemberian izin lokasi reklamasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun