Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Pagari Ahok, "Buying Time" Proyek Reklamasi

20 April 2016   20:44 Diperbarui: 20 April 2016   23:10 2405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Menteri KKP, Susi Pudjiastuti sepakat dengan Komisi IV DPR untuk hentikan sementara proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Foto: news.liputan6.com"][/caption]Proyek reklamasi tak semulus diharapkan. Carut marut perizinan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan menjadi penghalang ambisi Gubernur DKI dan para pengembang. Meskipun ada sebagian warga yang mendukung, sekadar isapan jempol. Toh, mereka tak mampu memberikan solusi terhadap kebijakan yang terlanjur mengamputasi peradaban. Ribuan kepala keluarga kehilangan penghidupan melaut, ditambah kerusakan alam dan masyarakat pesisir yang tercabut dari akar kebudayaannya.

Layakkah pulau reklamasi kelak menjadi ikon Jakarta tatkala rakyat tenggelam oleh kegemerlapannya? Tak ubahnya patung Hitler di era Nazi, kemegahannya diselimuti pembantaian etnis terbesar sepanjang sejarah. Kini, sisa patung dan figur Nazi hanya bisa didapati di museum. Hitler dianggap persona non grata bagi rakyat Jerman. Tidak mustahil, Ahok dapat diperlakukan sama. Kepemimpinannya merupakan kecelakaan sejarah.

Di sisi lain, tak cukup rasa simpati dan kagum diberikan kepada WALHI. Sebagai relawan pemerhati lingkungan, mereka selalu berhadapan dengan kesewenang-wenangan penguasa yang lupa daratan. Penguasa nikmat berkolusi dengan pengusaha untuk membuat kebijakan. Alhasil, segala sesuatu diukur berdasarkan rasio keuntungan. Kalau perlu, laut ditimbun demi bisnis properti. Soal sosial dan lingkungan mudah diselesaikan dengan jabat tangan seolah "tahu sama tahu". Dan, WALHI berani mendobrak tradisi lingkaran setan itu.

Tak usah lagi berdebat, tiada guna pula saling membela. Reklamasi Teluk Jakarta terang-benderang permasalahannya. Ambisi kepemimpinan dan kepentingan pebisnis adalah penyebab kekacauan mega proyek itu. Pepatah Jawa sopo sing salah bakal seleh terbukti. Kepongahan Gubernur DKI di atas gendang penderitaan rakyat jelata di ujung tanduk. Nasi telah menjadi bubur, Ahok harus menanggung kesalahannya.

Presiden juga menunjukkan sikap ketegasan. Ia bukan kartu sakti yang setiap kali bisa dimainkan untuk menutupi kesalahan. Kedatangannya di Pulau Seribu dalam rangkaian acara Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar merupakan satire terhadap proyek reklamasi. Begitu pula, Jokowi tidak ingin kabinetnya terbebani dengan kesalahan Ahok.

"Saya ingin kita melihat persoalan ini dengan kepala dingin jangan buat gaduh. Pak jokowi berpesan jangan main politik, yang ada politik kerja supaya bisa selesaikan perizinan dengan tenang nyaman isu ini jangan diinikan lagi. Kita duduk bersama," ujar Susi di rumah dinasnya di Jalan Widya Chandra V, Jakarta, Jumat (15/4/2016) -Liputan6.com

Pesan Jokowi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi bermakna politis. Ia ingin memastikan kinerja bawahannya tidak tersandera oleh kepentingan pragmatis. Susi kemudian menerjemahkannya melalui kesimpulan dari rapat kerja bersama Komisi IV DPR dan Kementrian Lingkungan Hidup. Ia tidak mengambil alih kewenangan perizinan reklamasi, tapi meminta Pemprov DKI dan para pengembang untuk mematuhi persyaratan menurut peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, reklamasi harus dihentikan sementara. Politik tarik-ulur ini membawa dilema bagi Ahok dan pengembang.

Suka atau tidak suka, reklamasi memang harus dihentikan sementara. Kesimpulan rapat kerja yang disampaikan oleh Susi bukan tanpa dasar hukum. Jika Pemprov DKI dan pengembang tidak patuh, UU No. 1 tahun 2014 dapat dipakai untuk mencabut izin lokasi reklamasi. Oleh karena itu, Menko Kemaritiman Rizal Ramli kembali menegaskan bahwa undang-undang menempati hirarki yang berada di atas keppres atau perpres. Otomatis, peraturan lama dikalahkan oleh peraturan baru yang lebih tinggi kecuali terdapat pasal pengecualian.

Pendelegasian kewenangan perizinan reklamasi dari Susi kepada Ahok tidak menghapus kewenangan pemerintah pusat untuk mengawasi dan mengendalikan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Sebab, undang-undang memberikan kewenangan atributif kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dalam regulasi proyek reklamasi. Presiden sekalipun tidak bisa merubahnya tanpa persetujuan DPR. Faktanya, DPR turut mendukung kebijakan Susi. Posisi Gubernur DKI ibarat wayang yang secara normatif diakui kewenangannya, tapi di bawah kendali pemerintah pusat.

Jika pengembang merasa dirugikan atas penghentian proyek sementara, gugatan tidak dapat ditujukan kepada pemerintah pusat. Mengapa? Si pemberi izin reklamasi adalah Gubernur DKI. Dalam hal ini, saya nilai Jokowi cerdas berpolitik. Tim lintas kementrian yang akan bertugas mengkaji persoalan reklamasi sebatas memberikan rekomendasi kepada Pemprov dan Gubernur DKI. Tanggung jawab pelaksana reklamasi tetap di pundak Ahok dengan kewenangan yang dibatasi oleh undang-undang.

Kerugian yang diderita oleh negara dan pengembang tidak bisa dipungkiri, apalagi rakyat. Entah sejauh apa Ahok bertanggung jawab. Seyogyanya ia introspeksi diri atas penyalahgunaan kewenangannya menerbitkan perizinan dengan melanggar undang-undang. Dirjen Pajak sebelumnya memberi teladan dari pengunduran dirinya akibat pencapaian target pajak yang tidak maksimal. Pun, Dirjen Perhubungan mundur cuma gegara macet di libur Natal. Pantaskah Ahok melanjutkan kepemimpinannya sekarang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun