[caption caption="Grafik PMKS DKI Jakarta (Sumber: Dinas Sosial Pemprov DKI)"][/caption]Kehidupan metropolis di Jakarta belum terpisahkan dari keberadaan pengemis dan pengamen. Mereka bagian dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Sepanjang tahun 2013, Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta, Kian Kelana mengatakan pihaknya menjaring 10.620 PMKS. Penertiban PMKS sesuai dengan Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum. Jumlah itu meningkat dibandingkan periode yang sama tahun 2012.
“Total hingga Desember 2012 sebanyak 9.692 orang yang terjaring razia. Sebagian dipulangkan ke kampung halaman, lainnya diberikan pelatihan agar memiliki keterampilan dan tidak kembali ke jalan,” ujar Kian, Minggu (8/12) - Poskotanews.com
Selanjutnya, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial DKI, Ucu Rahayu mengatakan jumlah PMKS tahun 2014 berkurang dibandingkan tahun sebelumnya berdasarkan Tempo.co - Jumat (24/10). "Tahun lalu angkanya mencapai 11.000 orang. Tahun ini hingga menjelang akhir tahun ada 9.000 PMKS di Jakarta”.
Dari keterangan pejabat dinsos di atas dapat ditarik hipotesa awal bahwa jumlah PMKS di Jakarta tidak mengalami perubahan signifikan selama tiga tahun berturut-turut. Meskipun sebagian dari mereka yang terjaring razia dipulangkan ke kampung halaman, tersisa jumlah besar PMKS yang justru disumbang dari wilayah Jakarta.
Hipotesa itu diperkuat dengan keterangan Kepala Seksi Rehabilitasi Panti Sosial Dinas Sosial DKI, Prayitno. Sejak Mei hingga Oktober 2014, ada 960 PMKS yang dipulangkan ke daerah asalnya. "Hanya 5 persen yang kembali ke Jakarta. Dari rombongan yang dipulangkan saja, hanya empat orang yang sudah dua kali dipulangkan."
Apabila menelusuri asal wilayah penyumbang PMKS, sumber atau penyebab masalah kesejahteraan sosial mudah dilokalisir dan diidentifikasi. Implikasinya, penanganan masalah menjadi terarah atau tepat sasaran. Apakah Dinas Sosial DKI melakukan pengelolaan data sebagaimana fungsinya?
Ironis, portal resmi Dinas Sosial DKI Jakarta dinsos.jakarta.go.id sama sekali tidak mencantumkan data jumlah PMKS per tahun. Data yang tersedia hanya berupa grafik dan tabel jenis PMKS dengan tidak dilengkapi dengan angka tahun atau periodisasi. (Lihat: data PMKS Dinsos DKI)
Padahal, tidak ada alasan bagi dinsos untuk tidak membuka data sebenarnya mengenai keberadaan PMKS di Jakarta. PMKS merupakan masalah publik yang wajib diinformasikan secara transparan. Tidak saja berhak atas keterbukaan informasi, publik bahkan mempunyai peran kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah.
Dinas Sosial DKI tampak asal-asalan meliput data PMKS. Tabel perihal jenis PMKS seperti jumlah fakir miskin dan anak korban tindak kekerasan tertera nihil. Data itu bertolak belakang dengan kondisi riil di lapangan. Untuk apa program penanganan fakir miskin oleh Pemprov DKI diadakan jika tidak ada seorang fakir saja di Jakarta? Di sisi lain, yayasan yatim piatu dan fakir miskin bertebaran. Adapun korban eksploitasi anak di kawasan Blok M Jakarta Selatan tempo hari semakin mengindikasikan bahwa tindak kekerasan terhadap anak sebagai fenomena gunung es tidak ter-cover oleh Pemprov DKI.
[caption caption="Tabel PMKS berdasarkan jenisnya (Sumber: Dinas Sosial Pemprov DKI)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/03/30/jenis-pmks-kosong-56fb88d563afbd880771e4ef.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang tengah sibuk bersafari politik lekas menanggapi dengan gagasan panti khusus atau asrama bagi anak-anak kurang mampu. Ia lalu beritikad untuk menghapus peraturan jalur “3 in 1”.
Penghapusan aturan jalur Three in One tidak menjawab soal eksploitasi anak di jalanan. Eksploitasi anak dapat terjadi di tempat-tempat umum mana saja dan menyangkut perdagangan manusia. Jalur itu memang kerap dimanfaatkan oleh para joki yang diantaranya terdapat ibu-ibu yang membawa bayi. Implementasi ERP yang sudah dua tahun lalu uji coba digadang-gadang menggantikan aturan jalur Three in One. Tapi, Ahok gagal mengeksekusi proyeknya yang diharapkan berjalan mulai 2015.
Selain itu, Ahok juga akan menganggarkan 1 trilyun untuk mengatasi PMKS.
"Kita mau bikin job fair. Bagi saya sederhana, di Jakarta ini, kamu usaha apa aja bisa, asal kamu jujur, kita siapain Rp 1 triliun satu tahun," kata Ahok saat menghadiri Musrembang di Wali Kota Jakarta Utara, Selasa (29/3/2016) – Tribunnews.com
Pernyataan Ahok yang menyinggung anggaran tersebut seakan mengamini kiprahnya terdahulu tidak berpihak pada pengentasan masalah PMKS. Menjelang akhir masa kepemimpinannya, ia baru berujar demikian dan kebetulan saat perhatian publik tersita dengan kabar eksploitasi anak di Jaksel. Realisasi anggaran kelak juga membutuhkan persetujuan dari DPRD dan kajian mendalam. Sejauh masih sebatas ucapan, pernyataannya tak lebih dari sekedar janji politik.
Sikap Ahok memperlihatkan pengingkarannya bahwa eksploitasi anak termasuk tanggung jawab pemerintah daerah melalui dinsos. Terlebih, ia menganggap pemerintah daerah tidak memerlukan penegasan untuk atasi eksploitasi (BeritaSatu.com: cegah eksploitasi anak jadi pmks, kami hanya bisa mengimbau). Perda No. 8 tahun 2007 Bab VIII Tertib Sosial pada Pasal 40 dan 42 huruf (b) dengan jelas menyebut bahwa setiap orang atau badan dilarang menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, PSK, dsb. Artinya, Pemprov DKI wajib melakukan penindakan sama halnya penertiban kawasan jalur hijau.
Setidaknya ada kemungkinan lima jenis untuk menggolongkan anak-anak sebagai PMKS, yaitu anak balita terlantar (ABT), anak terlantar (AT), anak yang menjadi korban tindak kekerasan (AKTK), anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK), dan korban trafficking (KTR). Percaya atau tidak, dinsos mengosongkan data korban trafficking.
Pemprov DKI seharusnya menduga jaringan kriminal bermain di balik eksploitasi anak di jalanan. Dan, instansi terkait bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk pencegahan dan penindakan. Keberadaan anak untuk mengemis dan mengamen ibarat pemandangan sehari-hari di Jakarta. Razia berulang kali yang menjaring mereka di berbagai tempat patut dipertanyakan. Seolah-olah dinsos tidak memperoleh informasi yang menjurus ke arah eksploitasi.
Alih-alih evaluasi instansi dibawahnya guna optimalisasi pencegahan eksploitasi anak, Ahok menyoal anggaran 1 trilyun untuk penanganan PMKS. Progam-program yang ia gagas dengan anggaran sebesar itu juga bukan hal baru. Pemerintah pusat lewat kementerian sosial dan pemerintah daerah lain telah menggiatkan relokasi bagi pengemis, pengamen, dan PMKS umumnya. Lahan disiapkan untuk berkarya dan pelatihan keterampilan bekerja diberikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI