Ternyata, model penarikan simpati kepada kelompok minoritas juga terjadi menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017. Propaganda pro-minoritas dikerahkan dengan beragam cara walaupun baru sebatas di lingkup media sosial. Opini publik coba dialihkan pada pertentangan SARA, lepas dari argumentasi logis yang mensyaratkan penalaran kritis. Inilah yang saya sebut sentimen melawan akal sehat.
Uniknya, isu pro-minoritas tidak dihembuskan oleh partai politik. Seandainya parpol ingin memainkan isu SARA, isu mayoritas yang akan dihembuskan kepada kader-kadernya. Toh, belum ada partai dakwah yang resmi mengusung calonnya. Jika parpol golongan nasionalis melakukannya, tidak perlu sembunyi-sembunyi karena memang banyak kelompok minoritas yang bernaung didalamnya. Lalu, siapa?
Untuk itu, saya mengamati isu minoritas yang akhir-akhir ini mengemuka dan mendapati isu semakin santer setelah Ahok menyatakan diri untuk menempuh jalur independen. Tak dipungkiri, pendukung Ahok sedang berkejaran dengan waktu. Mereka apes harus mengulang perolehan fotokopi KTP dari warga Jakarta akibat kesalahan surat formulir dukungan sebelumnya.
Tampak begitu ngototnya Teman Ahok berniat mengusung Ahok. Di situs mereka TemanAhok.com, digambarkan sepak terjang mereka menyerupai semangat para pemuda dalam peristiwa Rengasdengklok. Fakta Sejarah digunakan sebagai kamuflase gerakan lewat jalur independen yang esensinya sekedar mempertahankan Ahok menjabat gubernur. Ada apa sesungguhnya di belakang mereka, konglomerasi kapitalis?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H