[caption caption="Ilustrasi: Tempo.co"][/caption]
Setelah gagal mengintimidasi PDIP dengan ultimatum sepekan agar dirinya diusung, Ahok nekad menempuh jalur perseorangan alias independen. Kecongkakan Ahok yang ditunjukkan secara frontal ialah ketidakpatuhan dirinya untuk mengikuti mekanisme penjaringan bakal calon gubernur berdasarkan AD/ART partai berlambang kepala banteng itu.
Jika ia mengumpamakan PDIP layaknya bus kota, saya mengambarkan Ahok ibarat kontestan liar yang hendak menumpang suatu ajang kompetisi internal partai tanpa melalui tahapan seleksi. Seolah-olah pengurus ranting dan cabang di tubuh PDIP hanyalah gerbong-gerbong kosong yang tidak perlu diikutsertakan dan diputus di tengah jalan. Tampak egoisme politik Ahok. Sebab, hingga kini tiada terdengar aspirasi mereka yang mengusulkan namanya, kecuali oleh pengurus DPP, Hasto salah satunya.
Oo.. karena tidak berhasil menggertak PDIP, lalu melontarkan pernyataan,”calon yang diusung oleh parpol bisa-bisa butuh dana lebih dari 100 Milyar”. Isu basi yang dipropagandakan oleh Ahok itu ditanggapi beragam. Ada yang menganggapnya sebagai mahar dan adapula yang menyebutnya bea atau ongkos politik. Apapun istilahnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa anggaran pesta demokrasi di Indonesia sedemikian besar. Maka, pemerintah turut menanggungnya.
Mengapa Ahok mengucapkannya setelah hengkang dari PDIP dan memilih jalur independen? Berlagak kritis, Ahok coba mendulang simpati publik dengan membenturkan keberadaan relawan dan partai politik. Publik yang cerdas tidak akan terpancing oleh isu dan justru seksama melihat rekam jejak Ahok yang berpindah-pindah induk semang demi jabatan.
Ahok pura-pura lupa. Ia pernah menjadi bagian dari kebobrokan partai politik dan dibesarkan olehnya. Lantaran sekarang posisinya non-partisan, ia lantas mencibir dunia yang telah membesarkan namanya -munafik. Faktanya, Ahok berkali-kali ingin bergelayutan di pundak Megawati.
Di sisi lain, pendukungnya bersorak dan menilai jalur perseorangan adalah upaya kritik dan delegitimasi parpol. Mereka seakan menderita amnesia. Jelas-jelas Ahok yang selama ini sibuk melobi partai politik. Perilaku memutarbalikkan fakta merupakan indikasi kesesatan berpikir yang sedang menjangkiti pendukung Ahok (factual inconsistency).
Misalnya, APBD. Serapan anggaran daerah yang rendah diartikan sebagai keberhasilan Ahok dalam pencegahan korupsi. Bagaimana mungkin dikorupsi jika tidak dikucurkan? Pengadaan dan pembelanjaan anggaran semestinya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pencegahan korupsi dengan menahan serapan anggaran menunjukkan ketidakmampuan Ahok dalam mengawasi birokrasi. Sebaliknya, Ahok dielu-elukan sukses memperbaiki tata birokrasi, sehingga mewujudkan good governance. Apakah ukurannya adalah pemecatan dan pencopotan jabatan? Naif.
Oo.. ternyata, perilaku tidak tahu aturan pun dilakukan oleh Teman Ahok. Mereka mengumpulkan dukungan dari warga Jakarta dengan tidak menyertakan nama calon wakil gubernur yang mendampingi sang petahana. Sampai-sampai Ahok perlu berkonsultasi dengan KPU DKI Jakarta. Akhirnya, sosialisasi pasangan calon Ahok - Heru direncanakan minggu depan.
Running text Kompas TV (10/3) menyebut Teman Ahok berdalih bahwa KTP dukungan kepada Ahok sebelumnya itu valid. Lolos verifikasi KPUD saja belum, kok, dibilang valid. Pernyataan Teman Ahok tersebut bersayap. Fotokopi KTP dukungan untuk Ahok dapat dianggap valid secara administratif kependudukan karena pendukung harus menunjukkan KTP asli, kecuali itu palsu.
Namun dalam perspektif UU No. 8 Tahun 2015 yang mengatur jalur perseorangan, apakah valid jika mereka memberi dukungan tanpa mengetahui calon wagubnya Ahok? Sedangkan, dukungan wajib diberikan untuk sepasang calon dan bukan untuk per individu. Validitas terpenuhi jika warga dengan sadar telah mendukung pasangan calon Ahok - Heru sebagai cagub dan cawagub. Satu fotokopi KTP berlaku untuk sepasang calon.