Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belati yang Menikam Prabowo Terhunus di Kalijodo

22 Februari 2016   11:09 Diperbarui: 22 Februari 2016   11:15 6025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ia ingin bicara dan didengar, begitu pula rakyatnya. (Foto: Kompas.com)"][/caption]

Siapa Ahok, loyal atau ambisius? Setahun menjadi Anggota DPRD Belitung Timur, ditinggal demi jabatan bupati. Setahun menjabat bupati, lalu mundur dan terjungkal dari Pilgub 2008 Bangka Belitung. Selanjutnya, ia hijrah ke Jakarta, berpindah partai dan mengadu peruntungan dalam Pileg DPR RI periode 2009 - 2014. Ia terpilih dan menduduki Komisi II DPR perwakilan Fraksi Golkar.

Di tengah jalan, Ahok merapat ke Gerindra untuk bersaing dalam Pilgub 2012 DKI Jakarta. Tali asuh antara Prabowo dan Ahok pun terjalin ibarat bapak dan anak. Menjelang kontestasi pilgub, terlihat perjuangan Prabowo melobi Megawati agar Ahok dipinang sebagai pendamping Jokowi. Dan, Ahok mengakui kehadirannya di panggung politik ibu kota tidak lepas dari peran Prabowo.

Sumbangsih Prabowo teramat besar, sehingga mantan Bupati Belitung Timur itu sampai ke pelukan Megawati. Prabowo telah memberikannya sosok ibu. Begitulah wujud cinta seorang bapak kepada anaknya. Ahok tentu girang karena karir politiknya terbuka lebar, bagaimana tidak? Ia dipasangkan dengan Wali Kota Solo yang penuh prestasi dan digandrungi oleh media massa. Mereka lantas mengukuhkan kembali keluarga besar PDIP - Gerindra yang dulu gagal menyingkirkan SBY.

Dua tahun berjalan, publik mengharapkan Jokowi tampil menjadi kandidat presiden. Ahot berat hati melepas sekutunya itu, tetapi terbentang peluang bagi dirinya menempati kursi gubernur yang sempat ia impikan di Bangka Belitung. Kalkulasi politik dijalankan karena ia tahu akan terjadi banyak penolakan jika dirinya menjadi orang nomor satu di Jakarta. Sentimen etnis dan agama masih terasa kental. Maka, ia menyarankan agar Jokowi tidak mengundurkan diri terlebih dahulu.

Sayangnya, hubungan keluarga yang dibangun secara pragmatis mesti kandas di persimpangan jalan. Prabowo terlalu lugu di kancah perpolitikan. Ia lupa bahwa besan partainya itu terlatih bermanuver untuk survive di bawah kekangan rezim orba. Konflik internal Golkar dan PPP misalnya, dijadikan lahan garapan untuk meraup kemenangan Pilkada kemarin. Pilpres 2014 akhirnya menjadi episode perceraian asmara antara PDIP dan Gerindra. Prabowo dilibas oleh anak emas Megawati. Politik pragmatis memang berbau licik.

Di sisi lain, posisi Ahok aman dari persaingan PDIP dan Gerindra yang mengusung pasangan calon berbeda dalam Pilpres 2014. Meskipun menjabat wakilnya Jokowi, ia tetap mendukung Prabowo sebagai capres. Kata Warkop,”Kanan-kiri oke”. Siapapun yang terpilih menjadi presiden, Ahok tidak akan ditendang ke luar balai kota. Kedudukannya dijamin oleh undang-undang.

Setelah menyambut estafet kepemimpinan dari Jokowi, Ahok tetap percaya diri meskipun hengkang dari Gerindra. Perhatikan saja tingkah Ahok yang diminta untuk mewawancarai Megawati dalam acara Spesial 5 tahun Mata Najwa 22 November 2014. Ahok sedikit merajuk dan jawab Bu Mega,“Kalau saya mendukung, kan, tidak harus kelihatan”. Ahok tidak banyak kehilangan jika meninggalkan Gerindra. Ia mendapatkan sekutu yang jauh lebih berkuasa, Presiden RI.

Sedangkan, keluguan Prabowo sudah tercermin dari koalisi Gerindra yang tambun. Ia hanya berpikir untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya tanpa memandang kesamaan ideologi. Lagi-lagi ia tertipu. Prabowo tidak menyangka bahwa partainya sekedar tunggangan partai lain yang sejak lama berseberangan dengan PDIP. Tak ayal, Prabowo kini ditinggalkan oleh rekan-rekan koalisinya di KMP seperti Aburizal Bakrie.

Namun, dua kegagalan Prabowo itu tidak sepahit perasaan bapak yang ditinggalkan oleh anaknya. Gerindra telah membesarkan Ahok dan dibalas dengan air tuba. Prabowo merasa tertikam, tak terbilang perihnya bagi seorang prajurit yang mengutamakan loyalitas. Gegara perbedaan persepsi atas RUU Pilkada, anak yang diasuhnya berkhianat. Jika Ahok berpendapat bahwa pilkada yang tak langsung membunuh demokrasi, apakah ia demokratis pula mendengarkan keluhan rakyat yang digusurnya? Tiba-tiba menjatuhkan peringatan dan menduduki kawasan Kalijodo dengan kekuatan TNI/Polri adalah tindakan FASIS! Saya teringat Kolonialis Inggris yang mengultimatum Surabaya, sehingga pecah peristiwa 10 November.

Perlu dicatat bahwa Perda DKI No. 1  tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi diberlakukan per 16 Juni 2014. Jika Ahok pernah mempersoalkan mengapa Anggota DPRD Bekasi baru saat itu saja meributkan soal pengelolaan sampah di Bantar Gebang, bukankah sejak 2014 Ahok sebenarnya bisa melakukan sosialisasi terhadap masyarakat Kalijodo atau kawasan padat penghuni lainnya? Ia semestinya umumkan ke publik tentang semua kawasan yang hendak ditertibkan dan konsekwensi bagi masyarakat yang melanggar.

Inkonsistensi Ahok menggambarkan ketidaksiapan dirinya dengan grand design DKI Jakarta. Gayanya bekerja mirip pemadam kebakaran. Belasan mati tertabrak KRL, Metro Mini dihabisi. Empat mati terlindas pengemudi mabuk, Kalijodo diratakan, dll. Butuh berapa nyawa supaya Jakarta tertib dan sentosa? Pola kebijakan seperti itu menandakan sikap pragmatis gubernur dan berbahaya bagi rakyat. Sikap pragmatis pula yang kelak mungkin menuntunnya ke partai-partai pendukung revisi UU KPK demi Pilgub 2017.

Sepanjang sejarah, pragmatisme adalah musuh demokrasi. Ia semacam belati yang setiap waktu bisa melukai hak-hak rakyat. Pragmatisme selalu bermuara pada keuntungan sepihak dan kepraktisan. Pragmatisme meniadakan proses dan idealisme. Jika dianut oleh elit politik, pragmatisme akan melahirkan oligarki. Jika diterapkan oleh penguasa, ia dapat menjadi otoriter dan tirani.

Saya kecewa dan marah mengetahui nasib masyarakat Kalijodo. Apapun akomodasi dan pelayanan yang diberikan kepada mereka, tidak berarti bahwa seorang peminpin lebih superior daripada rakyatnya. Ahok, bangsa ini punya adat! “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” Kamu itu bangsa mana, kok perlakukan saudaramu lebih buruk daripada imigran? Pengungsi Rohingya difasilitasi dan ditanggung oleh pemerintah, mengapa saudaramu dari lain daerah yang menumpang kerja dan makan lantas kau usir? Dialog bukanlah untuk menyetujui semua permintaan, tetapi wujud persaudaraan untuk saling memberikan pengertian.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun