Inkonsistensi Ahok menggambarkan ketidaksiapan dirinya dengan grand design DKI Jakarta. Gayanya bekerja mirip pemadam kebakaran. Belasan mati tertabrak KRL, Metro Mini dihabisi. Empat mati terlindas pengemudi mabuk, Kalijodo diratakan, dll. Butuh berapa nyawa supaya Jakarta tertib dan sentosa? Pola kebijakan seperti itu menandakan sikap pragmatis gubernur dan berbahaya bagi rakyat. Sikap pragmatis pula yang kelak mungkin menuntunnya ke partai-partai pendukung revisi UU KPK demi Pilgub 2017.
Sepanjang sejarah, pragmatisme adalah musuh demokrasi. Ia semacam belati yang setiap waktu bisa melukai hak-hak rakyat. Pragmatisme selalu bermuara pada keuntungan sepihak dan kepraktisan. Pragmatisme meniadakan proses dan idealisme. Jika dianut oleh elit politik, pragmatisme akan melahirkan oligarki. Jika diterapkan oleh penguasa, ia dapat menjadi otoriter dan tirani.
Saya kecewa dan marah mengetahui nasib masyarakat Kalijodo. Apapun akomodasi dan pelayanan yang diberikan kepada mereka, tidak berarti bahwa seorang peminpin lebih superior daripada rakyatnya. Ahok, bangsa ini punya adat! “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” Kamu itu bangsa mana, kok perlakukan saudaramu lebih buruk daripada imigran? Pengungsi Rohingya difasilitasi dan ditanggung oleh pemerintah, mengapa saudaramu dari lain daerah yang menumpang kerja dan makan lantas kau usir? Dialog bukanlah untuk menyetujui semua permintaan, tetapi wujud persaudaraan untuk saling memberikan pengertian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H