Pernyataan keras disampaikan Jumat kemarin oleh Komisioner Komnas Ham terkait opini ayah Mirna tentang Jessica yang dilayangkan secara live dalam program ILC, TV One (Selasa, 2/2). Opini tidak sama dengan fakta meskipun diimbuhi kesaksian dari individu yang notabene adalah orang tua korban. Dan, fakta yang dimaksud ialah bukti fisik sebagai petunjuk adanya perbuatan yang melawan hukum (Baca: positivisme).
Komisioner mengkritik penggiringan opini publik dalam pernyataan polisi (KM) via status Facebook yang diduga menyudutkan Jessica, sedangkan kepolisian baru dalam tahap pengumpulan alat-alat bukti. Komnas HAM pun mempertanyakan sikap ayah Mirna yang tampak menuduh bahwa Jessicalah pembunuh anaknya. Ayah Mirna, Darmawan Salihin diminta untuk terang-terangan mengungkap bisnis usahanya. Bahkan, polisi diragukan dapat menuntaskan kasus pelik yang menewaskan Mirna.
Tanpa melangkahi wewenang kepolisian, publik bisa menilai bahwa terdapat kejanggalan dalam kasus yang menjerat Jessica. Jika kasus ini dipandang simple seperti ujar ayah Mirna, beberapa pertanyaan di bawah ini seharusnya mudah terjawab, antara lain:
- Mengapa polisi tidak membeberkan bukti materiil yang memastikan bahwa Jessica dengan sengaja dan berencana menabur racun sianida ke dalam minuman es kopi Mirna? KM hanya mengutarakan alasan Jessica dijadikan tersangka dan ditangkap ialah inkonsistensi kesaksiannya terhadap fakta-fakta yang ditunjukkan oleh penyidik. Jika ada temuan bukti yang tak terbantahkan, tidak perlu ditutup-tutupi dengan jawaban normatif bahwa itu bagian dari strategi penyidikan. Tersangka berhak mengetahui bukti yang mengarah kepadanya. Toh, Jessica sudah ditangkap.
- Humas Polda mengatakan bahwa polisi tidak mengejar pengakuan tersangka. Jika pengakuan tersangka saja tidak diperlukan, mengapa mempermasalahkan inkonsistensi keterangannya ketika masih berstatus saksi? Penyidik dapat segera menetapkan tersangka dengan bermodal keyakinannya dan bukti awal yang cukup tanpa kesaksian si terduga.
- Artikel saya sebelumnya (Selasa, 2/2) “Kasus Mirna: Kejahatan atau Kecelakaan?” mempertanyakan keaslian sampel minuman es kopi yang diperoleh penyidik dari pihak Kafe. Amat dimungkinkan alat bukti itu terkontaminasi atau terbuang. Kondisi kafe tidak steril. Menurut KM, pihak kafe telah mencicipi minuman itu dan berakibat rasa kebas di lidah dan muntah-muntah. Bukankah mereka semestinya mengenali tampilan aneh dari kopi Mirna? Kopi yang diminum oleh Mirna tidak berwarna hitam berdasarkan kesaksian Hani. Tetapi, mengapa Mirna tidak menunjukkan keraguan dan baru mengeluh setelah meminumnya? Padahal, Mirna tidak sekali datang dan memesan kopi di kafe itu. Ia juga disaksikan mengaduk beberapa kali minumannya. Apakah umumnya orang yang mengaduk tidak sembari melihat minuman?
- Ayah Mirna menggambarkan kondisi anaknya di rumah sakit dan mencurigai tanda-tanda keracunan, seperti bibir yang menghitam. Katanya, ia sempat menyuruh orang untuk membeli dan mencicipi minuman kopi dari kafe yang sama. Setelah mencoba dan tidak mengalami efek berbahaya, apakah ayahnya bereaksi dengan meminta dan memeriksa es kopi yang diminum oleh Mirna? Bukankah sepatutnya ia curiga bahwa hanya minuman Mirna yang beracun?
Simpati kepada pihak korban tentu patut diberikan, namun jangan sampai upaya untuk menuntut keadilan mengaburkan persoalan sesungguhnya yang mungkin menghapus jejak pelaku dalam suatu kasus hukum. Kasus Mirna tidak sebatas melibatkan tersangka dan korban, melainkan pula harapan publik akan penegakan hukum yang adil. Semoga bermanfaat.
--------------***---------------
“Intellectual War” Kasus Mirna Lawan Cocoklogi Polisi
Kasus Mirna: Kejahatan atau Kecelakaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H