Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

JK Kecolongan Barter Politik Kasus Novanto dan Pansus Pelindo

21 Desember 2015   10:44 Diperbarui: 21 Desember 2015   12:22 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersama-sama telah kita saksikan sengkarut penanganan kasus Novanto sejak pengaduan Sudirman Said ke MKD sampai persidangan. Rapat internal anggota MKD telah memutuskan pemberhentian Novanto dari jabatan Ketua DPR yang bersamaan dengan pembacaan surat pengunduran dirinya.

Tanpa disebutkan poin ke-2 tentang pemberhentian Novanto dalam Surat Keputusan MKD tertanggal 16 Desember 2015, ia sudah otomatis lengser dari jabatannya berdasarkan surat pengunduran diri itu. Namun, mengapa MKD tidak menjatuhkan sanksi kepadanya? 10 suara yang menyatakan sanksi sedang dan 7 suara yang merekomendasikan pembentukan tim panel diabaikan dan tidak disertakan dalam putusan sidang. Pesan Junimart “kawal kami!”, sekedar basa-basi. Novanto melenggang.

Sidang model sulap “topi keluar kelinci”

Publik seolah-olah tak berkedip menatap layar kaca, lalu berhitung 1.. 2.. 3.. sembari ikuti perolehan suara dan berharap kali ini Novanto terkena getahnya. Mirip sulap yang mengajak pemirsa, abrakadabra… ! Sebuah surat tiba-tiba di depan mata. Semua terpesona dengan pengunduran diri si jumawa. Lha, kok bisa? Apakah dia sadar akan kesalahannya? Kenapa baru sekarang?

Berbagai pertanyaan bermunculan, tetapi sempatkah kita bertanya sejak kapan surat itu dipersiapkan? Sebuah surat tidak mungkin muncul tiba-tiba. Maka, datanglah surat tepat pada waktunya ketika suara terbanyak bisa ditebak, yakni keinginan agar sanksi sedang dijatuhkan.

Jika sebagian dari Anda masih bingung atau tidak sependapat bahwa tujuh suara yang merekomendasikan sanksi berat adalah trik, Peraturan DPR No. 2 Tahun 2015 Pasal 39 ayat (1) menyebutkan

"Dalam hal MKD menangani kasus pelanggaran Kode Etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, MKD harus membentuk Panel yang bersifat ad hoc."

Kemudian, Pasal 41 ayat (5), Panel dalam penetapan putusannya berbunyi;

  1. menyatakan Teradu tidak terbukti melanggar; atau
  2. menyatakan Teradu terbukti melanggar.

Artinya, ketujuh suara tersebut masih sebatas dugaan dan pembentukan panel membuka peluang lolosnya Novanto dari sanksi etik.

Setelah mempertontonkan pandangan dari masing-masing anggota dengan menyisakan Kahar Muzakir dan Surahman, kelinci kembali dimasukkan ke dalam topi, abrakadabra… ! Rapat ditutup dan surat pengunduran diri Novanto berubah jadi Surat Keputusan MKD.

Hilangnya sanksi dari surat keputusan

Hilang cuma pindah tempat. Penjatuhan sanksi dikonversi ke ruangan rapat sebelah. Kalau money laundry dikenal dalam praktik korupsi, lobby ada dalam politik oligarki untuk berkolusi. PDIP butuh dukungan KMP guna memuluskan jalan Pansus angket Pelindo. Dan, esok harinya pansus merekomendasikan pemerintah agar memberhentikan Rini Soemarno, Menteri BUMN.

Perlawanan sengit dari KMP soal kasus pencatutan membuktikan bahwa Novanto benar-benar figur yang berpengaruh di kubu mereka. PDIP tidak mau kasus ini memicu perseteruan yang mengganjal pansus angket dan seleksi capim KPK di komisi hukum DPR. Tak heran Megawati berpesan agar orang-orangnya di MKD bersikap pragmatis jelang agenda putusan sidang etik Novanto.

Idealis lugu, Akbar Faizal menjadi tumbal persengkongkolan. Apakah menurut Anda, Fahri Hamzah berani terang-terangan sendiri membuat surat penonaktifan AF dari MKD? Ridwan Bae dikabarkan telah mencabut laporannya, lantas apakah pengaduan AF terhadap FH akan berlanjut ke persidangan?

Hal itulah yang tidak diperhitungkan oleh JK. Pikirnya, kekuatan opini publik terhadap kasus Novanto mampu dimanfaatkan untuk tarik-ulur persoalan di Pansus Pelindo. Jika dulu ia segera bereaksi atas pemeriksaan Bareskrim di kantor Lino. Kini, ia pun hanya menganggap rekomendasi pansus tak lebih daripada saran politik.

Sikap Jokowi atas kasus pencatutan dan mundurnya Novanto

Sudirman Said mengatakan bahwa pengaduannya ke MKD didorong oleh inisiatifnya sendiri walaupun terlebih dulu menghadap kepada Jokowi dan JK. Luhut tidak keliru jika menyebut bahwa tindakan SS tanpa restu. Ada izin atau tidak, publik mengetahui reaksi presiden.

Dua kali konferensi pers seorang menkopolhukam adalah kepanikan, terlebih selama ini ia dipersepsikan berada dalam posisi yang berseberangan dengan JK dan akrab dengan KMP. Ingat, apa kata Riza dalam rekaman tentang pembagian saham? Syahwat politik yang menyasar istana begitu kental ketika tiga mantan memperindag berkuasa dalam kabinet yang sama, yaitu JK, Luhut, dan Rini.

Jokowi memang marah, tetapi menjaga netralitas dirinya sebagai orang nomor satu di republik ini. Ia bukanlah orang yang frontal atau temperamental, seperti Rudyatmo dan Ahok. Saat pencapresan, bagaimana reaksi pribadinya terhadap kampanye hitam Tabloid Obor Rakyat? Padahal, ia jelas dihina dan martabat keluarganya dilecehkan.

Putusan MKD tidak merubah karakter Jokowi, bahkan dengan asyik ia bercengkerama dengan para komedian pada saat bersamaan. Ada pesan tersirat “Aku ora opo-opo”. Sedangkan, JK menyesalkan pengunduran diri Novanto yang terlambat, ya, terlambat karena mepet reses dan Pansus Pelindo keburu rekomendasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun