Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Cerdas Anugerahi Soeharto Pahlawan Nasional

10 November 2015   06:19 Diperbarui: 10 November 2015   06:19 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Okezone.com (9/10) - Fahri Hamzah Sebut Soeharto Layak Jadi Pahlawan Nasional. (Foto: hmsoeharto.id)"][/caption]

Akal sehat saya terusik setelah beredar kabar dari Mensos Khofifah Indar Parawansa bahwa Tim Peneliti dan Pengkajian Gelar Pahlawan (TP2GP) Pusat mengusulkan Soeharto kepada Dewan Gelar untuk dianugerahkan gelar pahlawan nasional. Bukan perkara mudah ketika negara hendak menganugerahkan gelar tersebut kepada seseorang. Masing-masing negara memiliki kekhasan untuk memilih dan menentukan pelaku sejarah yang pantas bergelar pahlawan nasional. Pada prinsipnya, negara mesti mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam aspek sosial, kebudayaan, dan politik untuk itu.

Aspek Sosial

Soeharto berhasil membawa Indonesia berswasembada beras. Namun, apakah pembangunan nasional pada masa pemerintahannya adil berpihak kepada rakyat atau lebih dominan dinikmati oleh para pemilik konglomerasi?

Pembangunan yang berkeadilan tidak menciptakan ketimpangan sosial. Faktanya, masyarakat di luar Jawa jauh dari akses pembangunan pada masa orde baru. Orang Indonesia Timur seolah-olah terasing karena makanan pokoknya bukan nasi yang diidentikkan dengan istilah pangan. Dijuluki Bapak Pembangunan, Soeharto yang terkenal dengan Repelitanya menjadikan Jawa seperti kerajaan yang gemah ripah loh jinawi. Di sisi lain, demi kerajaannya itu nasib penduduk seperti masyarakat Kedung Ombo di Jawa Tengah dikorbankan (Baca: Kasus Kedung Ombo).

Berbagai ketimpangan sosial yang terjadi melahirkan KKN. Sistem pembangunan yang tidak berkeadilan membuka celah bagi banyak orang untuk menerobos “pintu belakang” dan menghalalkan segala cara demi akses terhadap kue pembangunan dan berkuasa.

Gaya pemerintahan orde baru pun tak ubahnya pada masa penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda membagi masyarakat kedalam golongan eropa, timur asing, dan golongan Indonesia (bumiputera). Para bumiputera atau pribumi tidak memperoleh hak dan kemudahan dalam kegiatan perekonomian.

Aspek Kebudayaan

Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, masyarakat diingatkan bahwa aneka ragam kebudayaan nusantara merupakan satu keutuhan yang membentuk kepribadian bangsa dan Pancasila sebagai falsafah hidup ‘weltanschauung’. Tidak ada suku, agama, ras, dan golongan berada di atas yang lain. Lalu, fungsi negara adalah melindungi semua itu.

Sayangnya, nasib masyarakat Tionghoa dan penganut Khonghucu pada masa orde baru adalah ironi. Tindakan pelarangan atas perayaan tradisi dan banyak hal berbau “cina” bersifat diskriminatif dan rasis.

Terlahir dan dibesarkan di Jawa, Soeharto gemar menonton pagelaran wayang. Tak ubahnya penonton, seorang dalang hanya pandai bicara tetapi belum tentu sebijaksana wejangan luhur dalam kisah pewayangan. Begitu pula Soeharto, apakah pemeritahannya ibarat Semar ngejawantah (memanifestasikan kebenaran dan keluhuran)?

Aspek Politik

Konstitusi menjamin kemerdekaan warga negara untuk berserikat dan berkumpul, tetapi tragedi menimpa masyarakat yang dianggap beraliansi ke partai komunis. Pemerintah orde baru dan kekuatan militer membunuh dan mengusir warga etnis Tionghoa (Baca: Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat dan pemberantasan Paraku-PGRS). Stigmatisasi “pro-komunis” pasca Gestapu berbuntut pembantaian dan penahanan orang-orang yang dituduh simpatisan PKI. Selama Soeharto berkuasa, eks-tapol dan keturunan anggota PKI tidak diberikan hak kewarganegaraan yang sama dengan lainnya. Ini adalah bentuk negara sebagai teror kepada rakyatnya sendiri.

Diskriminasi etnis dan pilihan politis sudah umum dijumpai pada waktu itu. Pancasila dipakai untuk kamuflase oleh pemerintahan yang otoriter. Otoritarianisme menandakan dominansi militeristik dalam pemerintahan sipil. Tak heran jika dulu ada satire “di zaman Belanda banyak gubernur jenderal, di zaman Soeharto banyak jenderal jadi gubernur”. Keterlibatan pimpinan militer sebagai bupati dan gubernur dapat mengendalikan kegiatan politik masyarakat dan mobilisasi massa dalam pemilihan umum.

Semasa rezim Soeharto, tidak tampak euforia masyarakat yang haus akan sumber informasi. Pers kala itu tidak leluasa untuk memberitakan kabar yang berseberangan dengan pemerintah. TVRI sebagai satu-satunya media televisi yang diakses publik tidak lebih dari sekedar corong pemerintah, maka wajar jika awam tidak mengetahui kondisi nasib bangsanya secara menyeluruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun