Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perda Syariah Langgar Konstitusi

26 Agustus 2014   03:31 Diperbarui: 17 Oktober 2015   12:34 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berikut ini kutipan Pidato Soekarno 1 Juni 1945;

"Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!"

Ketuhanan berarti ektensif, yakni tidak menunjuk pada Tuhan menurut si A, B, atau C. Ketuhanan mencakup pengertian akan kualitas dari apapun yang dapat diberikan predikat sebagai Tuhan. Ini selaras dengan arti kata 'Allah' dari al dan ilah. Kata 'allah' berasal dari gabungan kata dalam Bahasa Arab 'al' yang setara dengan definite article 'the' dalam Bahasa Inggris, dan 'ilah' berarti Tuhan. Kata Allah merupakan titel, bukan kata yang menunjuk nama asli. Penggunaan kata ini jauh sebelum masa Islam. Kristen-Arab dan Yahudi-Arab telah menggunakannya beserta suku-suku Arab Kuno yang menganut paganisme.

Dengan demikian, keliru jika arti ketuhanan dimaknai sebagai Tuhan menurut versi dari penganut agama atau aliran kepercayaan tertentu. Begitu pula, kata 'allah' dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi "Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa" tidak menunjuk Tuhan-nya dari agama tertentu. Jika dimaknai sesuai asal bahasanya, 'Allah' ialah dewa bulan menurut kaum pagan di Arab Kuno. Apakah lantas bangsa Indonesia akan memaknai 'Allah' dan 'Tuhan' sebagai dewa bulan juga?

Jelaslah makna dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dari kalimat "... bahwa Piagam Jakarta ... menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut." Artinya, Piagam Jakarta tidak leterlek atau harfiah terkandung dalam UUD 1945 dan peraturan-peraturan hukum atau perundang-undangan di bawahnya. Syariat Islam memberi semangat ketuhanan sebagaimana norma-norma keagamaan atau aliran kepercayaan lainnya.

Kata 'esa' dalam sila pertama juga telah banyak disalahartikan. Esa tidak sama dengan 'eka'. Kata 'esa' tidak berarti satu dalam bilangan nominal. Kata ini diambil dari Bahasa Sansekerta yang setara dengan kata this (Bhs. Inggris. Sumber di sini) atau suchness,  atau as it is (Bhs. Sanskrit=tathata. Sumber di sini). Dalam filsafat (ontologi), kata 'esa' menunjuk hal yang absolut (Lihat di sini).

Karena itu, "Ketuhanan Yang Maha Esa" tidak dapat dipahami menjadi Tuhan yang satu. Jika kesalahan pengertian dipolitisasi,mungkin menimbulkan pelecehan terhadap keyakinan dari suatu agama atau aliran kepercayaan. Dan, terjadi kesalahpahaman dengan menganggap bahwa sila pertama berlaku bagi agama atau aliran kepercayaan tertentu.

Kesimpulan

Berangkat dari latar belakang dan kedudukan sila pertama, maka kehendak untuk menerapkan Syariat Islam di Indonesia atau di bagian wilayahnya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sejatipun semangat untuk memberlakukan aturan Islam atau Syariat Islam ditujukan kepada para penganutnya, tetaplah melanggar.

Pengejawantahan sila pertama dalam Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 dengan jelas menyatakan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk ... dan untuk beribadat ..." Kata sambung 'dan' tidak memisahkan makna dari kemerdekaan, sehingga adanya aturan Islam yang mengikat para penganutnya telah mencabut kemerdekaan setiap pribadi untuk bertuhan.

Selain itu, penerapan Syariat Islam dapat memicu kecemburuan bagi daerah-daerah di Indonesia yang berpenduduk mayoritas non-muslim. Akibatnya, penduduk minoritas muslim di daerah tersebut teralienasi. Sebaliknya, penduduk minoritas non-muslim di daerah yang menerapkan aturan Islam merasakan ketidakleluasaan sebagai warga negara. Ini bertentangan dengan semangat keadilan dan persamaan hak atau kewajiban di hadapan hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun