Mohon tunggu...
Ahmad MA
Ahmad MA Mohon Tunggu... -

blogger yg jarang update | traveller kere | jazz | senja | fotografer dadakan | google wannabe | Blogger Anging Mammiri Makassar | dari timur indonesia | www.bebmen.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menelusuri Jejak Sang Raja Bugis di Umpengeng

17 Juli 2014   23:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:02 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udara sejuk dan hijaunya pepohonan menyambut kami ketika memasuki desa Umpungeng, dari kejauhan sayup-sayup terdengar tabuhan bunyi gendang yang membawa ingatan ke dimensi lain. Bulu kuduk serasa menari mengikuti alunan bunyi pukulan gendang berirama sanjungan pada sang Patotoe (dewa tertinggi dalam kebudayaan Bugis kuno). Semakin dekat dengan suara megah tersebut terlihat pula kerumunan orang di depan rumah panggung tradisional suku Bugis yang sudah dilengkapi dengan hiasan Lawa Suji yang tidak lain merupakan kosmologi masyarakat Bugis. Hari itu tanggal 14 Maret 2014 saya datang bersama teman dari Komunitas Blogger Makassar, Rama. Kami memang sengaja menempuh perjalanan beratus kilometer dari Makassar menuju perbatasan Bulu Dua – Soppeng untuk melihat prosesi ritual adat Maccera Tana & Mallangi Arajang (memberikan persembahan pada tanah dan pencucian benda pusaka) yang diadakan di desa Umpungeng. Desa Umpungeng – Kecamatan Labata, Kabupaten Soppeng berjarak kurang lebih 140 kilometer sebelah utara dari Makassar, melewati perbatasan Bulu Dua - Soppeng. Perjalanan menuju Umpungeng tidaklah mudah, dari jalan raya kami harus menyewa ojek dengan bayaran Rp. 50.000,- sekali jalan hingga ke desa Umpungeng. Bayaran ini memang setimpal dengan beratnya medan. Jalan yang kami lalui adalah jalan setapak yang menanjak dan berbatu cadas, lebar jalannya hanya sekitar 1 meter, dengan kemiringan tanjakan sekitar 40-50 derajat dan pada sisi kanan jurang terjal menganga seakan siap menelan kami bila sedikit saja teledor atau kehilangan konsentrasi. Begitulah 12 kilometer perjalanan menuju desa tempat diadakannya pesta adat Maccera Tana & Mallangi Arajang. Pada pertengahan Agustus 1660, Pasukan Kerajaan Gowa dan Pasukan Kerajaan Wajo yang saat itu menjadi sekutu Gowa menyerang Pasukan Arung Palakka di Lisu – Bone, karena serbuan pasukan Gowa dan Wajo begitu besar akhirnya Arung Palakka dan pasukannya yang masih tersisa mundur ke Maruala, selatan Lisu. Di Maruala Arung Palakka dan pengikutnya bersembunyi di sela-sela batu besar, masyarakat Tanete merahasiakan tempat persembunyian Arung Palakka dan saat malam hari membawakan makanan serta minuman bagi Arung Palakka serta pengikutnya. Pasukan Gowa yang mengejar Arung Palakka akhirnya mengetahui persembunyian Arung Palakka di Maruala, tapi sebelum Pasukan Gowa tiba, Pabbicara Tanete telah memberitahukan pada Arung Palakka untuk segera keluar dari persembunyian dan berpindah. Saat Melarikan diri, ia dan beberapa pengikut setianya tiba di Uwaempalleng. Di tempat ini paman dari Arung Palakka, Babae, mendesaknya untuk segera ke Umpungeng, sementara ia dan 7 pasukannya akan memperlambat pengejaran pasukan kerajaan Gowa dengan cara menyerangnya secara membabi buta. (Warisan Arung Palakka, hal. 71-73) Di Umpungeng, Arung Palakka disembunyikan oleh Arung Umpungeng dari kejaran pasukan kerajaan Gowa. Atas bantuan penguasa Umpungeng tersebut Arung Palakka lalu memberikan hadiah penghormatan berupa segenggam rambutnya yang dipotong sebagai tanda kalau ia pernah bermukim di desa tersebut. Rambut tersebut panjangnya 30 cm atau satu jengkal tangan orang dewasa ditambah satu genggaman. Ketika memberikan potongan rambut itu kepada Arung Umpungeng, Arung Palakka Berkata “Akko iye mupakalebbi Arung Umpungeng iya mupakalebbi, Akko iya muparakai Arung Umpungeng iya muparakai, Akko iye mucaro Arung Umpungeng iya mucaro” (Jika ini yang engkau muliakan Arung Umpungeng, saya yang kau muliakan, Jika ini yang engkau jaga Arung Umpungeng, saya yang kau jaga, Jika ini yang engkau hormati Arung Umpungeng, maka sesungguhnya Zat Kemulianlah yang engkau hormati). [Indo Nihan – Sesepuh Adat dan Penjaga Arajang Umpungeng] Bagi masyarakat Bugis, Arajang adalah sebuah Pusaka Keramat yang ditinggalkan Manurung (orang yang turun dari langit) atau Arung (raja) sebagai pengingat kepada masyarakat setempat. Bagi masyarakat Umpungeng potongan rambut Arung Pallaka adalah sebuah arajang (pusaka) yang akan terus dirawat dan disucikan setiap tahunnya melalui prosesi adat istiadat. Saat menaiki anak tangga rumah Manurung yang berbentuk rumah panggung tradisional suku Bugis, tabuhan gendang masih terus bergema semakin dekat di telinga saya, menghapus lelah setelah melakukan perjalanan panjang dari Makassar. Tetabuhan gendang membuat bulu kuduk merinding, sayapun seakan-akan terlempar kembali ke abad ke 17 ketika gendang Kerajaan Bugis menggemakan kejayaannya. Ketika memasuki pintu rumah kebanggaan masyarakat Umpungeng itu, saya melihat sudah banyak orang yang berdesakan ingin menyaksikan prosesi adat tersebut. Terlihat juga kumpulan persembahan/sesajen berupa sokko’ (beras ketan yang telah dimasak) berwarna merah muda, hitam, putih dan kuning, pisang yang masih lengkap dengan sisirnya serta rebusan ayam yang masih utuh. Di depan makanan persembahan terlihat 4 foto yang dipajang berjejer tersusun seakan memperjelas kalau makanan-makanan tersebut adalah kepunyaan 4 tokoh dalam foto. Empat foto itu berisi wajah Arung Palakka dan entah siapa lagi tiga lainnya. Mata saya beralih ke ruang sebelah dari kumpulan persembahan, kain putih selebar setengah meter membentang menuju sebuah kamar berukuran 3 x 3 meter yang tertutupi kain berwarna merah tempat Arajang Umpungeng tersimpan. Ketika pengantar Arajang hendak keluar, ia harus melalui kain putih dan berjalan mundur hingga di ujung kain. Menurut penjelasan Pak Usman – Penjaga Arajang Umpungeng, yang di dalam kamar adalah Raja jadi kita pun harus menjunjung etika kita sebagai abdi raja, ketika keluar menghadap Raja kita tidak boleh membelakangi Raja, itu tidak sopan katanya. Saya yang saat itu baru saja menginjakkan kaki ke tanah Umpungeng tidak mengetahui aturan tersebut sehingga saat keluar tidak sengaja membelakangi tempat penyimpanan Arajang. Seorang wanita yang duduk dari deretan kain putih tersebut sempat menegur tanpa suara. “Tabe, melo dampek’ka, nappa’ku lecca Umpungeng, depa wissengi pantanganna” (Permisi, saya minta maaf sebelumnya, saya baru pertama kali ke Umpungeng, saya belum tau pantangannya) begitu penjelasan saya dengan suara pelan pada wanita yang menegur tadi. “De’ma marigaga, anu ero, engkani tellu esso tellumpenni kerasungang bissu’i, de’na engka ma’bicara, majollo bawang” (Tidak apa-apa, itu wanita yang menegur anak sudah tiga hari tiga malam kerasukan bissu, ia tidak pernah berbicara, hanya memerikan kata isyarat saja) bisik seorang bapak di samping saya. Wanita yang tadi menegur saya tanpa suara itu memberikan isyaratnya lagi pada bapak di samping saya. Dengan kembali berbisik, isyarat itu langsung diterjemahkan bapak di samping saya: “melo’i gere ma’jama akki idi nak” (Indonesia: dia mau berjabat tangan dengan anda nak). Saya terkesiap sejenak, lalu dengan sedikit ragu saya menjabat tangan wanita yang sudah kerasukan bissu tiga hari tiga malam itu. Entah apa maksud dari jabat tangan itu, tapi semoga saja itu bertanda saya dimaafkan akan perbuatan yang melanggar aturan dengan membelakangi rajanya tadi. Sebagian besar penduduk asli Umpungeng tidak bisa berbahasa Indonesia, sehari-hari mereka menggunakan bahasa Bugis. Mungkin karena desa tersebut sangat jauh dari akses perkotaan dan letaknya dibawah kaki gunung Latuli. Akses signal provider telpon apapun tidak tersedia sama sekali di Umpungeng, hingga sangat sulit untuk melakukan komunikasi jarak jauh. Saya hanya membayangkan ketika ada seorang anak Umpungeng yang merantau jauh, mungkin selama masa perantau anak tersebut kedua orang tuanya di Umpungeng selalu merasa khawatir karena tidak mendapat kabar anaknya yang merantau. Pesta adat Maccera Tana & Mallangi Arajang tahun ini diadakan selama 3 hari 3 malam. Menurut sesepuh Adat Umpungeng – Andi Baso Petta Karaeng, Maccera Tana & Mallangi Arajang adalah sebuah pesta adat yang dilaksanakan dari hasil sumbangan sukarela masyarakat Umpungeng. Pesta adat kebanggaan masyarakat Bugis di Umpungeng tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah setempat, ujar Puang Baso dengan raut yang kecewa. Adapun tahap-tahap prosesi dalam pesta adat Maccera Tana & Mallangi Arajang berdasarkan penuturan Andi Baso Petta Karaeng adalah: hari pertama, melakukan ritual maccera tana atau memberikan persembahan pada pocci tana kepercayaan masyarakat Umpungeng. Keesokan harinya dilanjutkan dengan pengambilan air suci di Pitu Bujung (7 sumur) untuk pencucian Arajang pada puncak Gunung Latuli Dusun Umpungeng. Setelah air suci yang diambil dari pitu bujung tersebut dibawa turun ke rumah manurung, maka prosesi berikutnya adalah memandikan atau mensucikan Arajang yang berupa peninggalan potongan rambut Arung Palakka itu menggunakan air suci yang telah diambil dari pitu bujung. Setelah selesai dimandikan, Arajang siap untuk dikembalikan ke tempatnya semula dan nanti akan dikeluarkan kembali saat Arajang Umpungeng tersebut siap untuk disucikan tahun depan. Berdasarkan buku Warisan Arung Palakka [hal. 73 – 75], setelah Arung Palakka lolos dari kejaran pasukan kerajaan gowa, ia bersama 3 orang terdekatnya dalam pelarian: Arung Bila Daeng Mabela, Arung Appanang dan Datu Datu Citta bersumpah di bawah pohon beringin (ajuara) di sebelah timur Umpungeng untuk tidak akan berhenti dari tugasnya membebaskan negeri mereka dari Kerajaan Gowa. Mereka juga bersumpah akan berlayar bersama keluar dari tanah Sulawesi untuk mencari sekutu. Setelah sampai di Palette Bone dan akan berlayar keluar dari tanah Sulawesi, Arung Palakka kembali melakukan sumpahnya. Jika ia berhasil pulang dengan selamat ke negerinya dan dapat membebaskan rakyatnya dari penindasan Kerajaan Gowa, ia akan mempersembahkan acara syukuran berupa tumpukan sokko’ setinggi bukit di Cemalagi, 100 sapi dengan ujung tanduk emas dan satu jantung seorang Bangsawan Kerajaan Gowa. Ia juga bersumpah tidak akan memotong rambutnya hingga keinginannya itu tercapai. Jika saja Arung Palakka masih hidup bukan tidak mungkin jalan menuju desa Umpungeng saat ini sudah terbuat dari emas untuk mengenang jasa-jasa Arung Umpungeng saat menolongnya dari kejaran pasukan kerajaan Gowa 354 tahun silam. Sayangnya Pemerintahan saat ini bukanlah Kerajaan Soppeng dahulu kala. Tapi terlepas dari itu saya masih ingin kembali ke kampung Umpungeng. Ingin kembali merasakan kesejukan dan Keramahtamahan masyarakatnya yang berbudaya. Sudah diposting di Jejak Raja Bugis di Umpungeng Soppeng

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun