Mohon tunggu...
Labib Nor
Labib Nor Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia sekaligus Mahasantri di pesantren Khatamun Nabiyyin Jakarta. Menurut hasil tes kepriabadian psikotes, saya memiliki kepribadian ENTP. Saya memiliki hobi membaca dan mencoba hal-hal yang baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pesantren dan Kekuatan Mayoritas, Mengkritik Ketidakadilan dalam Kepemimpinan

9 November 2024   22:19 Diperbarui: 9 November 2024   22:22 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena dominasi mayoritas satu suku di pesantren dapat menyebabkan ketimpangan dalam kebebasan antara pengurus dan santri, terutama bagi mereka yang berasal dari suku atau kelompok etnis minoritas. Biasanya, dalam pesantren yang dipimpin oleh pengurus yang mayoritas berasal dari satu suku, norma dan kebijakan yang diterapkan lebih banyak mencerminkan kepentingan dan budaya kelompok tersebut. 

Hal ini mengarah pada ketidaksetaraan sosial di dalam pesantren, menciptakan ketidakadilan dalam akses, kesempatan, dan pengakuan terhadap keberagaman. Melalui perspektif sosiologi, terutama dengan menggunakan teori hegemoni dan teori perubahan sosial, kita dapat mengkritisi fenomena ini dan melihat bagaimana mayoritas tidak selalu mencerminkan kebenaran atau keadilan.

Dalam konteks pesantren, dominasi suku mayoritas yang berada di posisi pengurus dapat menciptakan apa yang dikenal dengan istilah hegemoni budaya. Hegemoni ini merujuk pada pengaruh ideologi yang kuat dari kelompok dominan dalam masyarakat, yang membentuk kesadaran kolektif dan norma sosial. 

Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis, menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya didapat melalui kekuatan fisik atau politik, tetapi juga melalui penguasaan atas ideologi yang diterima oleh mayoritas. Dalam hal ini, kelompok yang mendominasi pesantren, yang berasal dari satu suku tertentu, dapat memperkenalkan dan mempertahankan budaya serta norma mereka sebagai standar yang berlaku di pesantren.

Sebagai contoh, jika mayoritas pengurus pesantren berasal dari suku Jawa, mereka mungkin akan menerapkan pola pengajaran, interaksi sosial, dan bahkan kegiatan keagamaan yang lebih mendekati tradisi Jawa. Santri yang berasal dari suku lain, seperti suku Bugis atau Madura, bisa merasa terpinggirkan jika mereka tidak dapat mengekspresikan identitas budaya mereka dengan bebas. 

Dengan demikian, pesantren yang seharusnya menjadi tempat untuk menghargai keberagaman, justru malah memperkuat dominasi satu suku. Hal ini sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto (2009) dalam bukunya Sosiologi: Suatu Pengantar, yang mengungkapkan bahwa dominasi suatu kelompok dapat menekan keberagaman dan menciptakan ketimpangan sosial.

Kekuasaan yang dimiliki oleh mayoritas pengurus dapat disalahgunakan untuk memperkuat kepentingan kelompok mereka sendiri. Dalam perspektif Teori Kritis, yang dipelopori oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno, kapitalisme dan kekuasaan sering kali menyatu untuk menciptakan ketidaksetaraan. Dalam kasus pesantren, pengurus yang mayoritas berasal dari satu suku mungkin akan lebih mengutamakan santri yang memiliki latar belakang suku yang sama, misalnya dalam pembagian tugas, kesempatan belajar, atau penghargaan. 

Santri dari suku minoritas akan kesulitan mendapatkan perhatian yang setara, yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan sosial. Hal ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan digunakan bukan untuk kepentingan bersama, tetapi untuk memperkuat posisi dominan kelompok tertentu (Horkheimer & Adorno, 2003 dalam Dialektika Pencerahan).

Ketidak setaraan dalam akses pendidikan di pesantren adalah salah satu dampak dari dominasi mayoritas ini. Teori Perubahan Sosial yang dikemukakan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore dalam teori stratifikasi sosialnya mengemukakan bahwa ketidaksetaraan dalam kesempatan bisa menyebabkan ketegangan sosial. 

Dalam pesantren, pengurus yang berasal dari suku mayoritas memiliki kecenderungan untuk mengutamakan santri dari suku yang sama, memberikan mereka lebih banyak kesempatan untuk berkembang, sementara santri dari suku lain lebih sulit mendapat perhatian. Keadaan ini menciptakan kesenjangan yang memperburuk hubungan sosial antar santri.

Pesantren tidak hanya menjadi tempat pengajaran agama dan moral, tetapi juga dapat menjadi tempat reproduksi ketidakadilan sosial jika tidak memperhatikan aspek keberagaman dalam pengambilan keputusan. 

Ritzer (2008) dalam bukunya Sosiologi: Pendekatan-Pendekatan Baru menjelaskan bahwa struktur sosial yang tidak inklusif seringkali menyebabkan marginalisasi bagi kelompok yang tidak memiliki kekuasaan atau akses terhadap sumber daya.

Pesantren, sebagai tempat yang mengajarkan nilai-nilai keagamaan dan sosial, seharusnya menjadi tempat yang inklusif dan menghargai keberagaman. Jika pesantren dipimpin oleh mayoritas suku tertentu, hal ini berisiko membentuk atmosfer yang tidak menghargai keberagaman etnis dan budaya. 

Dalam dunia yang semakin global dan terhubung, penting bagi pesantren untuk mengajarkan kepada santri untuk menghargai perbedaan budaya dan suku, bukan justru mendominasi satu kelompok etnis saja. Pesantren harus menjadi contoh bagaimana keberagaman dapat hidup berdampingan dengan damai, tanpa ada pihak yang merasa terpinggirkan.

Fenomena mayoritas satu suku di pesantren, yang menyebabkan ketidakadilan antara pengurus dan santri, mencerminkan bagaimana kekuasaan dan dominasi budaya bisa menciptakan ketimpangan sosial. 

Sosiologi, melalui teori hegemoni dan teori perubahan sosial, mengajarkan kita untuk mengkritisi dominasi mayoritas yang merugikan kelompok minoritas dan mendorong inklusivitas serta penghargaan terhadap keberagaman. Pesantren seharusnya menjadi tempat yang membangun persatuan dan saling menghargai, tanpa membedakan latar belakang suku atau etnis, agar setiap santri dapat berkembang secara adil dan setara.

 

Referensi

Soekanto, Soerjono. (2009). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Horkheimer, Max & Adorno, Theodor. (2003). Dialektika Pencerahan: Filsafat dan Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, George. (2008). Sosiologi: Pendekatan-Pendekatan Baru. Jakarta: Kencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun