Pesantren tidak hanya menjadi tempat pengajaran agama dan moral, tetapi juga dapat menjadi tempat reproduksi ketidakadilan sosial jika tidak memperhatikan aspek keberagaman dalam pengambilan keputusan.Â
Ritzer (2008) dalam bukunya Sosiologi: Pendekatan-Pendekatan Baru menjelaskan bahwa struktur sosial yang tidak inklusif seringkali menyebabkan marginalisasi bagi kelompok yang tidak memiliki kekuasaan atau akses terhadap sumber daya.
Pesantren, sebagai tempat yang mengajarkan nilai-nilai keagamaan dan sosial, seharusnya menjadi tempat yang inklusif dan menghargai keberagaman. Jika pesantren dipimpin oleh mayoritas suku tertentu, hal ini berisiko membentuk atmosfer yang tidak menghargai keberagaman etnis dan budaya.Â
Dalam dunia yang semakin global dan terhubung, penting bagi pesantren untuk mengajarkan kepada santri untuk menghargai perbedaan budaya dan suku, bukan justru mendominasi satu kelompok etnis saja. Pesantren harus menjadi contoh bagaimana keberagaman dapat hidup berdampingan dengan damai, tanpa ada pihak yang merasa terpinggirkan.
Fenomena mayoritas satu suku di pesantren, yang menyebabkan ketidakadilan antara pengurus dan santri, mencerminkan bagaimana kekuasaan dan dominasi budaya bisa menciptakan ketimpangan sosial.Â
Sosiologi, melalui teori hegemoni dan teori perubahan sosial, mengajarkan kita untuk mengkritisi dominasi mayoritas yang merugikan kelompok minoritas dan mendorong inklusivitas serta penghargaan terhadap keberagaman. Pesantren seharusnya menjadi tempat yang membangun persatuan dan saling menghargai, tanpa membedakan latar belakang suku atau etnis, agar setiap santri dapat berkembang secara adil dan setara.
Â
Referensi
Soekanto, Soerjono. (2009). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Horkheimer, Max & Adorno, Theodor. (2003). Dialektika Pencerahan: Filsafat dan Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George. (2008). Sosiologi: Pendekatan-Pendekatan Baru. Jakarta: Kencana.