Mohon tunggu...
Ale Majdi
Ale Majdi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ramadhan dan Momentum Menuju Perubahan Sosial

8 Juni 2016   02:25 Diperbarui: 8 Juni 2016   02:41 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Ahmad Labib Majdi[1]

Pendahuluan

Ramadhan adalah bulan suci yang kehadirannya selalu ditunggu-tunggu oleh setiap umat Islam di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Banyak cara yang dilakukan orang-orang muslim di Indonesia dalam menyambut bulan suci ini, seperti di kalangan Sunda ada istilah munggahan atau di Jawa ada yang disebut ruwahan. Berbeda cara tapi satu tujuan, yaitu menyambut Ramadhan dengan penuh harap dan suka cita. Hal ini dilakukan karena Ramadhan merupakan bulan yang diberkahi, di mana umat Islam dijanjikan dengan kemuliaan, ampunan (maghfirah) dan janji kebahagiaan di akhirat.

Bulan Ramadhan selalu dijadikan ajang perlombaan bagi setiap muslim untuk mengisinya dengan berbagai amalan dan ibadah, sehingga keberkahan, kemuliaan dan ampunan yang dijanjikan Tuhan selama sebulan penuh tidak terlewatkan dengan sia-sia. Beberapa amalan dan ibadah yang menghiasi di bulan Ramadhan adalah shalat, tadarrus/tilawahal-Quran, zakat dan tentu saja puasa.

Setiap umat muslim sadar bahwa Ramadhan merupakan sebuah momentum tepat untu membersihkan diri, jiwa dan hati dari segala kotoran, penyakit dan cacat ruhani. Jika mengambil istilah dalam ilmu tasawuf, Ramadhan adalah momentum tepat untuk pemurnian diri (tazkiyyah al-nafs), pembersihan hati (tazkiyyah al-qalb), dan mengisi dengan semangat penyerahan diri kepada Tuhan (tajliyyah al-ruh). Atau dalam istilah lain ada juga yang menyebut dengan takhalliartinya mengosongkan diri dan hati dari akhlak tercela (akhlak mazmumah), tahalli artinya mengisi diri dan hati dengan Allah, baik dzikir maupun berakhlak baik (akhlak mahmudah), dan tajalli artinya meleburkan diri dengan Allah SWT.

Hal Ihwal Puasa Ramadhan

 Secara etimologis puasa atau shaumadalah imsak(menahan) diri dari sesuatu, seperti menahan diri dari makan, dari berbicara dan sebagainya. Jika dilihat dari terminology hukum Islam, puasa atau shaumberarti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya sepanjang hari, dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Istilah Ramadhan sendiri menurut bahasa adalah membakar. Disebut demikian, karena pada bulan Ramadhan seseorang yang berpuasa berarti membakar segala dosanya, sehingga di akhir Ramadhan dosa seseorang itu menjadi terhapus atau hilang.

Kedua term ini, dalam kemudian menjadi satu kesatuan, yaitu Puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun dari rukun-rukun Islam dan pelaksanaan dari puasa di bulan Ramadhan ini adalah wajib. Sebagai suatu kewajiban, Puasa Ramadhan tidak boleh ditinggalkan dan jika ditinggalkan berarti meninggalkan salah satu sendi rukun Islam. Meskipun demikian, Islam yang begitu luwes dan tidak memaksa umatnya berada dalam keadaan sempit, memperbolehkan seorang muslim meninggalkan Puasa Ramadhan jika benar-benar dalam kondisi sakit hingga tidak mampu berpuasa, sedang dalam perjalanan, perempuan hamil dan menyusui anak, dengan konsekuensi harus menggantinya pada hari yang lain.

Kemudian jika ternyata seorang muslim yang tidak berpuasa itu adalah orang yang telah lanjut usia, maka boleh tidak berpuasa dengan kewajiban membayar fidyah makanan kepada fakir miskin. Meskipun ditegaskan pula oleh Tuhan, bahwa sebenarnya berpuasa lebih baik daripada meninggalkannya walaupun dengan alasan-alasan yang dapat terima. Hal ini sebagaimana firmanNya:

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Momentum menuju Perubahan Sosial

Harus diakui kondisi Indonesia saat ini hampir pada semua aspek kehidupan sedang berada dalam situasi buruk, kritis, dan sarat dengan ketidakpastian. Banyak hal yang terbolak-balik, seperti kasus seorang guru perempuan yang dipenjara hanya gara-gara “menjewer” muridnya yang nakal, pembunuhan, pemerkosaan dan kekejian-kekejian lainnya semakin marak di setiap sudut negeri ini, praktik KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) yang juga tidak ada hentinya. Fenomena ini harus menjadi kesadaran kolektif semua komponen bangsa, khususnya yang memiliki kekuasaan. Selanjutnya, melalui hikmah dan momentum Ramadhan, kesadaran tersebut ditransformasikan ke dalam sikap dan perilaku yang serba baik. Kesadaran akan kekurangan, kealpaan dan kesalahan masa lampau harus melahirkan kesadaran untuk perbaikan dan penyempurnaan di masa kini dan masa depan. Apalagi, di bulan Ramadhan yang penuh dengan rahmat, maghfirah dan janji kebahagiaan dan kesejahteraan, seharusnya menjadi landasan dan momentum menuju perubahan melalui aktualisasi berbagai amalan Ramadhan.

Amalan dan ibadah di bulan suci ini begitu banyak, di antaranya telah disebutkan di atas. Jika dilihat dari segi teologis, pelaksanaan puasa menunjukkan ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan. Makna teologis ini terlihat jelas dalam ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Ayat di atas menunjukkan bahwa dengan berpuasa manusia akan mampu menggapai derajat kemanusiaan tertinggi. Itulah sebabnya, menurut Nabi ibadah puasa lebih berat dibandingkan dengan seluruh perang yang telah terjadi dan mungkin bahkan yang akan terjadi.

Meskipun demikian, ketakwaan sebagai substansi utama dalam pelaksanaan puasa, hanya akan bermakna jika diaktualisasikan dalam konteks sosial. Secara sosiologis, ibadah puasa seharusnya dapat memberikan dampak pada munculnya sikap solidaritas dan kepekaan sosial. Jadi, pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan hanya akan memiliki nilai ketakwaan, jika makna teologis puasa tersebut ditransformasikan menuju realitas sosial.

Dapat diambil contoh dalam bidang sosial-ekonomi, ibadah puasa harus menjadikan setiap pelakunya mampu melihat dan tergerak untuk mengentaskan kemiskinan. Sebab, tanpa ada kesadaran seperti itu, maka ibadah puasa selama satu bulan penuh tersebut hanya menjadi kesalehan individual semata, tanpa munculnya kesalehan yang lebih kolektif atau kesalehan sosial.

Kemudian di bidang politik, pelaksanaan puasa harus dapat menelurkan pribadi-pribadi muslim yang peka terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di sekitarnya, serta mengubah pribadi muslim menjadi seseorang yang mampu menahan dan mengekang dirinya dari tindakan yang semata-mata hanya demi kepentingan sendiri dan kelompoknya.

Jika ibadah puasa ternyata tidak mampu menimbulkan perubahan sosial, memunculkan pribadi-pribadi muslim yang memiliki kepekaan dan solidaritas sosial, maka konsekuensinya adalah puasa hanya sebagai ajang menahan lapar dan dahaga saja. Rasulullah bersabda, yang artinya: “Betapa banyak orang yang berpuasa, yang diperolehnya dari puasa itu hanya lapar dan dahaga saja.” (HR. Thabrani dan Ibn Khuzaimah). Oleh karena itu, agar ibadah puasa dapat memberikan manfaat dan hikmah, maka pelaksanaanya harus secara benar dan baik sesuai dengan tuntunan yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Begitu banyak riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah selain berpuasa, juga melakukan amalan dan ibadah lainnya, yang sebetulnya telah disinggung di atas. Amalan-amalan ibadah, seperti qiyamu ramadhan, tadarrus/tilawah, I’tikaf, dan zakat fitrah adalah mutlak untuk dilaksanakan jikalau ingin ibadah puasa selama sebulan penuh dapat memiliki manfaat dan hikmah, baik bagi individu maupun kolektif atau sosial.

Manfaat dan Hikmah Puasa bagi Kehidupan Sosial

Telah disinggung sebelumnya bahwa ibadah puasa yang sesungguhnya adalah pelaksanaan ibadah puasa yang menghasilkan manfaat dan hikmah, baik bagi individu seperti munculnya sikap solidaritas sosial dan kepekaan sosial, maupun bagi kolektif/sosial seperti ditandai dengan perubahan sosial di masayarakat. Meskipun begitu, hal tersebut akan tercipta jika puasa yang dijalani mengikuti dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah. untuk lebih jelas, dapat dibagi menjadi beberapa poin, hikmah dan manfaat dari pelaksanaan puasa yang sangat penting dan relevan bagi kehidupan sosial.

Pertama, puasa dapat membersihkan dan meninggikan jiwa. Maksudnya adalah melalui berpuasa manusia dididik dan diajarkan untuk meningkatkan diri dari hanya sekedar sifat kebinatangannya saja, yang hanya mementingkan makan dan minum untuk memenuhi nafsu mengenyangkan perut semata.

Kedua, puasa dapat menimbulkan sikap toleran dan dermawan. Orang yang berpuasa akan dapat ikut merasakan betapa pahit dan getirnya orang-orang yang kelaparan dan kehausan. Dari perasaan itu akan muncul kesadaran terhadap sesame, bahwa betapa menderitanya orang-orang yang kelaparan dan kehausan diakibatkan memang tidak ada makanan atau kemiskinan.

Ketiga, puasa dapat membersihkan jiwa dari ikatan keduniaan dan kecintaan terhadap dunia. Hal itu dapat terjadi melalui latihan-latihan selama bulan Ramadhan, seperti dengan bershadaqah, infak, sabar, dan sebagainya.

Keempat, puasa dapat menimbulkan sifat memelihara amanah dan ikhlas beramal. Maksudnya, melalui berpuasa manusia dilatih untuk meluruskan niat ibadah dan menjauhkan diri dari segala bentuk kepura-puraan, riya dan pamer.

Kelima, puasa mampu mendidik diri untuk menjadi disiplin. Hal ini dapat terjadi karena melalui berpuasa manusia diharuskan untuk menghindarkan dari perilaku yang membatalkan puasa dan adanya batasan waktu puasa dari selepas subuh sampai maghrib, sehingga mau tidak mau manusia akan mengikuti aturan itu dan bersikap disiplin.

Keenam, dalam konteks kehidupan sosial, ibadah puasa melahirkan sikap-sikap solidaritas dan kepekaan sosial. Hal ini bukan saja terlihat dari menahan diri untuk tidak makan dan minum, melainkan dibuktikan pula melalui kesadaran dengan bersedia menyisihkan dari kekayaan untuk membayar zakat fitrah.

Penutup

Ramadhan bukan sekedar bulan yang di dalamnya dilaksanakan berbagai amalan dan ibadah untuk menggapai rahmat, maghfirah dan janji kebahagiaan di akhirat dari Tuhan, justru Ramadhan seharusnya dapat dijadikan sebagai landasan bagi individu-individu muslim untuk memunculkan sikap solidaritas sosial dan kepekaan sosial.

Sikap solidaritas sosial dan kepekaan sosial dari individu muslim tidak akan tercapai, jika pelaksanaan ibadah puasanya tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan untuk melakukan segala yang dilakukan Rasulullah di bulan Ramadhan agar tercapainya sikap solidaritas dan kepekaan sosial. Sikap ini pada lingkup yang lebih luas dan besar, yaitu di lingkungan masyarakat atau kehidupan sosial secara umum dapat menimbulkan perubahan sosial, sehingga terciptalah suatu kondisi masyarakat yang ideal serta diharapkan.

Akhirnya, penulis berharap melalui manfaat dan hikmah berpuasa yaitu, membersihkan dan meninggikan jiwa; menimbulkan sikap toleran dan dermawan; membersihkan jiwa dari ikatan keduniaan dan kecintaan terhadap dunia; menimbulkan sifat memelihara amanah dan ikhlas beramal; mendidik diri untuk berdisiplin; dan melahirkan sikap solidaritas dan kepekaan sosial, kondisi muslim, baik individu maupun kolektif menjadi semakin baik dan segala persoalan-persoalan yang menimpa kehidupan sosial umat Islam, khususnya di Indonesia dapat terpecahkan dan terselesaikan.

Referensi:

K.H. Irfan Hielmy. Wacana Islam: Bahan Telaah Anak Bangsa. Ciamis: Pusat Informasi Pesantren (PIP) Darussalam. 2000.

K.H. Irfan Hielmy. Sentuhan Wahyu Penyadar Kalbu: Bahan Renungan Pribadi Sufi. Bandung: Yrama Widya. 2003.

 Al-Quran al-Karim dan Terjemahan.

[1] Mahasiswa SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Ketua Umum ForSASSY (Forum Silaturrahmi Alumni Sukamanah Sukahideng Yogyakarta)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun