Mohon tunggu...
Labib Akmal Basyar
Labib Akmal Basyar Mohon Tunggu... -

Aku adalah seseorang yang ingin menangis ketika aku terkahir yang akan mati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Physically or What?

12 Maret 2009   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:17 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“…Kalau kau jadi dirimu sendiri, tidak ada yang bisa menyaingimu. Belle tak pernah menyadari hal itu. Akibatnya, dia banyak menderita.” (lihat hal. 152)

Pergaulan secara fisik tentu saja akan terbentur pada segala hal. Kita tidak bisa secara wajar bercengkrama, berceloteh sesuka hati, minum kopi bersama atau makan nasi kucing bersama, begitu? Orang yang tak mengerti bahasa budaya akan selalu memilah, “Oh kamu anak desa, pantasnya yang warung hik saja. Cukup es teh kampul dan bakaran sate kere.”

Mereka yang membedakan seperti itu tak akan bisa bercampur dengan renyah. Mereka akan memilih teman-teman yang sepaham seperti pergi ke Dunkin Donats atau McDonalds, “genteng merah“ Pizza Hut dll. Barangkali sekedar cari gengsi dan wah saja. Biar terbilang kaya atau pura-pura kaya. Pura-pura jadi anak mal dan pura-pura berbudaya tinggi.

Tapi sebenarnya mereka yang berpura berbudaya tinggi, ingin juga bercengkrama dengan santai dalam temaram lampu teplok dengan ditemani tiga ceret. Makan tempe bacem, kicot, dan bila tak teliti bisa makan saren atau didih, darah ayam atau kambing atau sapi yang digoreng. Karena sudah terlanjur berjarak dengan budaya rendah, makanya dengan terpaksa, meski kantong tipis dipaksakan juga ke tempat yang mewah tadi.

Itu adalah efek tajam yang bisa terjadi jika pergaulan hanya ditentukan secara fisik. Awalnya cuma masalah warna kulit atau tinggi badan. Tapi efeknya demikian domino. Kita yang dicampakkan seperti itu bisa minder, tak percaya diri, sehingga tersungkur pada kekurangan diri, menjauh pada pergaulan lingkungan. Menjadi apatis, pendiam, dan introvert.

Kalau memang dirinya benar-benar terluka dengan perlakuan seorang teman atau orang lain seperti itu, stres bisa melanda. Dan dalam ilmu psikologi, beban stres itu jika terus menumpuk bisa berdampak pada pelaku depresi. Yang dikhawatirkan adalah pelaku depresi yang tidak lagi bisa menahan. Sebab keputusan untuk membunuh dirinya sangat terbuka luas.

Awalnya memang fisik, tapi dampaknya begitu besar. Sudah saatnya kita bebaskan diri dari konsepsi itu. Bergaulah pada sesama yang wajar. Kalau memang dia jelek, ya tidak usah dibilang jelek. Tapi dekati dengan bahasa lainnya. Belum tentu dia jelek fisik, terus jelek pikiran dan ilmu pengetahuan.

Siapa sangka Descrates yang tak serius belajar – sementara teman-temannya di kolese Yesuit yang sangat Skolastik, digembleng begitu keras – dia masih saja tidur dan bangun siang hari ketika pelajaran olahraga berkuda, anggar dan bermain flute. Kebiasaan bangun siang hari ia pertahankan sampai tua.

Bagaimana duga, jika anak berona pucat, rambut ikal lebat, bermata besar, berkeluyuran di kebun buah denganmantel hitam dan celana sedengkul, topi lebar di kepalanya, juga selendang penghangat yang melingkar lehernya, bakal menjadi tokoh filsafat Matematika. Begitu mendewakan intelektualitas.

Secara fisik seperti itu, kita bisa bayangkan bagaimana diri Descrates. Atau kita lihat Einstein, Karl Marx, Pramoedya Ananta Toer, dsb. Lagi-lagi fisik bukanlah hal yang begitu berarti, lebih baik: kita menyadari diri kita dan merangkul sesama. Mari kita wujudkan hidup yang indah. Amin.

Pamulang, 29 Desember 2008

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun