Mohon tunggu...
Labib Akmal Basyar
Labib Akmal Basyar Mohon Tunggu... -

Aku adalah seseorang yang ingin menangis ketika aku terkahir yang akan mati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pornografi: Murang Tata

13 Maret 2009   12:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:17 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perkiraan saya dan ini adalah ketakutan kalau-kalau, bahwa undang-undang pornografi sepertinya bakal susah untuk dilahirkan, karena begitu banyak pihak yang merekayasa dengan pendapat ini itu, alasan begini-begitu, yang mencoba merombak kembali batasan-batasannya. Bagi saya, yang paling dasar adalah apakah hukum itu memang benar-benar adil atawa setidaknya lebih manusiawi. Jika tidak seperti itu, sampai kapanpun undang-undang pornografi akan tetap dalam rahim ketidakpastian. Berbicara hukum tentu saja berbicara tentang adil, tapi bukan berarti setelah adil terwujud terus menghilangkan rasa (feel) atawa hati nurani.

Katakanlah, UU Pornografi hadir sesuai keinginan semua pihak, dan jika diterapkan pada kasus Inul Daratista atawa penyanyi dangdut lainnya yang memunyai istilah goyangnya masing-masing, “goyang ngebor, “goyang gergaji, “goyang ngecor”, “goyang kayang” dll, dianggap tidak porno, sepertinya perlu ada proses pengkajian ulang dan lebih dalam.

Ini bukan masalah agama mayoritas, terus ingin memaksakan syariatnya kepada minoritas dalam memutuskan perkara. Tapi dalam agama diajarkan tentang tatakrama yang megacu hati nurani. Dan ini menyangkut tentang nilai pertimbangan rasa atawa hati nurani, bukan wilayah hukum formal tapi sudah hukum rasa (informal).

Saya lebih suka menyebutnya “ilmu roso”. Misalanya saja pada foto-foto majalah FHM, EHM, dan lainnya, maka yang kemudian dikaji lagi adalah rasa tiap-tiap manusia Indonesia, apakah hal tersebut memang sudah nyaman dan tepat dengan rasa atawa hati nurani dan itu perlu kejujuran dan konsisten.

Tidak usah munafik dan jangan ikut-ikutan pakar atawa ahli itu mengatakan ini-itu, tapi berani setiap individu berjuang atas nama rasa atawa hati nurani. Oleh karenanya, ada yang lebih penting untuk dimaknai dalam, dihayati, dan diresapkan untuk kemudian dipraktikkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari, yaitu tatakrama. Ini lebih pada pertimbangan rasa (feel). Saya yakin hukum rasa ini lebih mendasar karena berangkat dari hati nurani seorang manusia. Jika seseorang menyakini bahwa dirinya adalah manusia, pasti akan mengatakan bahwa foto Anjasmara yang pernah bugil, yang membuatnya berkata, “Saya khilaf,” adalah pornografi bukan sebuah seni.

Pornografi itu adalah persoalan gampang-gampang susah. Susahnya, kekurangjelasan dan kepastian hukum, tapi mudahnya, hal itu dapat kita lihat, dirasakan, dipahami dengan hati nurani atawa rasa dengan mudah dirasakan dan dipahami untuk sebuah hukuman apakah itu porno atawa tidak. Ketika kita menyepelekan tatakrama atawa tata susila, berarti kita telah mengatakan bahwa diri kita ini bukan manusia lagi. Apa gunanya kita memunyai otak dan hati nurani yang jelas-jelas membedakan dengan hewan dan tumbuhan.

Suatu kali saya mendengar langsung dari mulut teman saya bahwa dia yang mengabadikan adegan ciuman antara teman dan pacar temannya itu. Itu terjadi di Jakarta. Mahasiswa. Memang, katanya tidak telanjang, hanya ciuman saja. Yang membuat saya miris adalah mereka sama sekali tidak malu. Yang mengambil gambar juga tak mengingatkan akan kebodohan pekerjaan kedua temannya. Sedangkan yang melakukan adegan ciuman sudah hilang rasa manusianya dan agamanya.

Jika kemudian, saya dibilang sok suci. Saya akan menjawab, saya banyak dosa dan pernah melihat video porno dan hampir ketagihan. Kemudian saya mencoba berbicara pada diri saya sendiri, untuk apa candu pada hal itu, jika hanya gambar-gambar yang tak jelas juntrungannya itu dinikmati. Barangkali, film porno adalah film paling monoton yang pernah dibuat. Saya hanya memunyai rerasan untuk mengajak: “Mari kita duduk, berpikir, dan kemudian sadar bersama-sama, bahwa ada bahaya yang sesungguhnya benar-benar besar, yaitu pornografi.”

Dan kemudian, ada yang bilang, “Halah sok moralis, ngapain mikirin porno, tuh berapa banyak anak jalanan tak sekolah, kemiskinan merajalela, kebutuhan bahan makanan pokok langka, pupuk hilang di pasaran dan sebagainya.”

Betul, betul sekali. Itu adalah masalah penting dan harus di atasi. Tapi, dengan mengatakan seperti itu, kita seola-olah melupakan adanya pornografi. Disatu sisi kita ingin mulia, tapi ternyata kita mempersilakan sebuah ‘virus’ untuk berkembang. Tentunya, ini sebuah langkah bodoh kita-kita ini, yang katanya pintar, bacaannya filsafat, mencari ilmu ke Perancis, Jerman, atawa Amerika, hanya kita terlena pada namanya: Kebebasan.

Dan inilah, jika kita sebagai manusia hanya sebatas melakukan undang-undang (syariat) bukan pada wilayah tatakrama. Bagi tatakrama itu sangat melanggar, dalam jawanya, itu sudah “murang tata”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun