Mohon tunggu...
La Yusrie
La Yusrie Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tinggal di Yogyakarta. Blog Pribadi: www.orang-gu.com

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Aku Bukan PKI: Kesaksian para Terfitnah PKI di Buton 1969

4 Maret 2016   08:04 Diperbarui: 30 September 2020   09:47 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ironisnya Muh. Kasim yang adalah pemerintah justru dituduh telah menerima senjata itu dan lalu dibagikannya kepada laskar simpatisan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang digambarkan mereka berjingkrak menari kegirangan mendapatkan senjata itu. Untuk keperluan persiapan dan agar tak diketahui orang umum, maka senjata-senjata yang telah dibagikan itu kemudian dikumpulkan dan lalu di bawa di pulau Liwuto Ngkidi untuk sementara disembunyikan. Begitulah menyesatkannya rumor yang disiarsebarkan dengan massif oleh militer dalam komando Kolonel Sindiran (nama fiktif).

Kolonel Sindiran tidak sendirian, bahkan beberapa orang Buton sendiri ikut membantunya menangkapi para tokoh Buton terpelajar itu. Dalam sebuah inspeksi yang pura-pura ke Liwuto Ngkidi pada awal Maret 1969, mereka memang tak menemukan senjata yang rumornya disembunyikan di sana, yang sebenarnya terjadi adalah dimulainya operasi pembunuhan massal di pulau kecil nan mungil itu kepada semua siapapun yang ditengarai (atau lebih tepatnya difitnah) sebagai simpatisan pengikut PKI di Buton.

Pulau kecil dengan julangan pohon kelapa dan landai pasir putih yang indah di muka teluk Baubau itu ternodai oleh cipratan darah yang muncrat dari daging para korban terfitnah PKI yang dieksekusi secara kejam di sana. Sejak itu pulau yang terletak di antara pulau Siompu dan pulau Kadatua di muka teluk Baubau itu bergantilah namanya menjadi pulau ular disertai sebaran isu bahwa ada banyak ular di sana agar tak berani didatangi, agar orang-orang akan takut datang berkunjung di sana.

Seorang nelayan dari pulau Kadatua yang hanya lewat dan melihat eksekusi mengerikan itu malah ikut ditangkap, ia diseret dan lalu dijejerkan beserta para korban terfitnah lainnya untuk dieksekusi dengan ditembak. Ia selamat karena beruntung memiliki ilmu kebal yang masih bertuah, berpura-pura roboh ke lubang yang telah dikubangi oleh mereka sendiri ketika mendengar bunyi senapan menyalak. Malam yang gelap membantunya lolos dengan bersembunyi di balik belukar semak. Karena kalut yang akut ia mencebur diri ke laut dan berenang ke pulau Kadatua sejauh kurang lebih 3 mil laut

***

AKU hanyalah nelayan kecil yang tidak menahu politik, tetapi malah ikut diseret dengan licik, picik. Di mulanya aku dituduh membawa bom ikan, lalu akhirnya dibelokan semau mereka sebagai katanya aku adalah laskar simpatisan pengikut PKI. Aku menolak sekuat-kuatnya tuduhan yang menghinakan itu, tapi mereka tak bergeming, tidak sekali saya ditendangi, melayang bogem di wajah saya bekali-kali, disuruh jalan memakai dorongan moncong senapan. Tak terhitung kali pantat keras senapan mereka di hantamkan ke kepala saya.

Aku sudah melakukan segala-gala upaya, sekuat-kuat usaha agar bisa dibebaskan, tetapi seperti pingpong yang dipukul bergantian, segalanya mental kembali dengan sebagaimana mulanya: tanpa hasil, atau jika ada hasil: ditolak. Bahkan memohon-mohon dengan memelaspun minta belas dikasihi sebagai atas nama  kemanusiaan, tidak diberi, hati mereka mati, keras kaku seperti batu. Di situ tahulah saya, bukan lagi manusia mereka ini, tidak ada manusia yang tega melihat penyiksaan begini rupa, mempermain-mainkan darah dan nyawa sesamanya manusia.

Mereka hanya bicara dengan salakan moncong senjata yang ditembakan seperti salvo ke udara sebagai mungkin itu untuk menggertak menakuti. Aku lalu meriut dan menuruti saja keinginan mereka, aku takut salakan berikutnya tidak lagi arahnya ke langit tetapi benar-benar akan disasarkan mengarah ke badanku. Datang membayang di mata, wajah anak-anak yang saya tinggalkan, istri yang selama ini menunggu setia nafkah dari yang saban hari aku bawakan dari laut, apa bakal kelak jadinya jika aku mati dan mereka kehilanganku, mau makan apa mereka? Maka berjalanlah saya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, mengikut mau mereka dan mengakui saja seluruh tuduhan mereka, asal saya tidak dibunuh.

Dengan luka sobek di pelipis bekas disepak memakai laras yang keras aku memasuki ruang tahanan yang pengap, lembab. Mata sayapun sembab sebab lebam dipopor memakai pantat senjata sewaktu saya dipaksa mengakui yang dituduhkan. Darah muncrat, mengucur dan berceceran di sepanjang lantai yang saya lalui. Di ujung jalan lorong menuju bilik sel paling belakang, aku melihat seorang yang lain sedang disiksa dengan disetrum. Badannya bergetar hebat setiap kali disengatkan ke tubuhnya aliran listrik yang bermega watt itu.  Dalam setiap kali erangan teriaknya dengan jelas aku mendengar: “Aku Bukan PKI”!

Jika sengatan setrum listrik itu telah melemaskannya dan ia terkulai duduk tanpa daya, seember air akan diguyur disiramkan dari kepala ke seluruh badannya. Tahu apa yang paling melukai hatiku? Dengan mata kepala sendiri aku melihat orang Buton mengambilkan air di WC yang mengantarai bilik kami itu dan ikut berdiri di belakang para penyiksa itu. Dengan jelas aku melihat mereka, aku mengenal dan menandai muka-muka mereka. Kelak Tuhan kemudian membalaskannya. Aku mendengar orang-orang Buton yang ikut menjulurkan tangah membantu para pembunuh yang menindas itu mati dengan sekarat yang menyiksa di tengah kubangan kotoran mereka sendiri

Dia yang disiksa itu berperawakan tinggi badannya, dengan sedikit kumis melintang tipis pada bibir atasnya. Saban malam aku tak berhenti mendengarnya berteriak kesakitan karena terus mendapat siksa. Sel kami bertetangga hanya di antarai Water Closet (WC) yang bau pesingnnya minta ampun menusuk hidung. Dia di bilik 2 dan aku di bilik 3. Sampai suatu malam, di dini hari, tak biasanya tak kudengar suara erangan datang dari biliknya, tak ada teriakan kesakitan. Aku membatin: “Mungkinkah ia telah keluar dibebaskan pada tengah malam tadi?”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun