12 FEBRUARI 1968, tujuh orang Gu dibawa ke penjara Baubau setelah sempat ditahan di kantor polisi sektor Gu di Lombe. Ketujuh orang itu masing-masing bernama Maili, Alwi, Zalimu, Saahu, Muhammad Ali, La Ube, dan Abdul Gani Icu. Dua orang lainnya dikenakan tahanan rumah yaitu Suowo dan Ismail Parinta. Mereka dilaporkan oleh kepala desa Gu, dengan tuduhan yang tidak main-main dan paling menakutkan waktu itu: melakukan rapat gelap dan permufakatan jahat.
Dalam suasana kalut yang kemaruk racau waktu itu, terkait penangkapan secara paksa simpatisan pengikut PKI yang meluas dan massif dihampir seluruh daerah Buton, rapat gelap dan permufakatan jahat adalah momok yang paling ditakutkan. Siapapun yang ditangkap dengan tuduhan itu akan langsung digiring dengan kasar ke penjara tanpa perlu melalui sidang pengadilan.
Memang benar ada kumpul-kumpul itu, ketika digerebek di rumah Alwi oleh kepala desa Gu disertai sekelompok Hansip yang mengawalnya, di sana para tertahan itu memang sedang bercerita yang sebenarnya adalah hal biasa saja mengenai kebijakan keliru kepala desa Gu yang memindahkan dengan semau-maunya kantor-kantor pemerintah dari Gu Lakudo ke Lombe.
Tetapi kumpul-kumpul yang biasa bagi mereka yang ditahan itu dianggap tidak biasa oleh kepala desa Gu sebab membicarakan kebijakannya yang oleh mereka disebut sebagai “keliru”. Bagi kepada desa Gu, kumpul-kumpul yang mereka lakukan itu adalah jelas juga keliru dan tidak bisa dibenarkan. Masa itu adalah memang masa sulit, penguasa berkuasa dengan otoritas yang mutlak, mengambil sikap kritis apalagi terang-terangan melayangkan kritik terhadapnya adalah hal yang tabu dan bahkan lebih jauh bisa mendatangkan petaka.
Tuduhan awal sebagai melakukan rapat gelap dan permufakatan jahat pada akhirnya dibelokan sebagai mereka terkait/dikaitkan PKI. Ini agar memudahkan dan menyepatkan mereka menuju sel tahanan. Tak kepalang, karena memang tuduhannya seram begitu, seorang opsir diperintah segera membawa mereka ke tahanan sekalipun baru hanya sedikit penyelidikan mengenai duduk soal kasus sebenarnya. Dalam sepanjang perjalanan mereka terus bertanya mau dibawa ke mana tetapi selalu tak mendapat jawaban. Setiba di muka rumah tahanan barulah opsir polisi mengatakan: “Kita ke sana” sembari menunjuk pada sebuah papan bertulis Rumah Tahanan Kelas II Baubau.
Tiga bulan mereka mendekam dalam penjara sebelum kemudian dikeluarkan pada tanggal 10 Mei 1968. Dalam sidang pengadilan yang digelar di Balai Desa Gu, kesemua mereka dinyatakan bebas dengan tidak bersalah dan yang paling penting tidak samasekali terkait dengan PKI. Sayang sekali vonis bebas dengan tidak bersalah dari pengadilan itu tidak cukup menyenangkan hati mereka dan menjadi tidak berarti apa-apa sebab telah didahului oleh penangkapan dan panahanan semena-mena. Status mereka dalam mata masyarakat tetaplah tidak bisa dihapus: Bekas Narapidana.
Dari merekalah saya mendapat gambaran mengenai bagaimana para tahanan yang dituduh sebagai PKI mendapatkan penyiksaaan hebat. Mereka yang tertuduh PKI itu di tempatkan di bilik 1, 2, 3, dan 4. Ruang bilik yang hanya bisa menampung paling banyak 3 orang tahanan tetapi diisi lebih dari sepuluh orang. Para tahanan tertuduh PKI itu ditumpuk dalam satu sel yang sempit sebagai bagian dari hukuman secara psikis sekaligus juga fisik.
Dalam selama tiga bulan masa tahanan, mereka tak mendapatkan penyiksaan dan kekerasan secara fisik sebagaimana para tetangga bilik sel mereka. Sebab setelah diselidiki dalam pemeriksaan lanjutan di polres Buton tidak ditemukan fakta bahwa mereka adalah anggota PKI kecuali hanyalah sebagai “musuh kepala desa”. Seorang Polisi yang memeriksa mereka dari awal bahkan menyampaikan agar mereka dibebaskan saja dengan berkata: “kasusnya tidak sama dengan Mawasangka (maksudnya tidak terkait PKI), bebaskan saja”, tetapi seorang polisi lain yang adalah kerabat pelapor (kepala desa Gu) malah mengangkat bicara dengan kasar: “Biar masukan saja, supaya mereka tobat”
***
SEBARISAN yang menamakan diri Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi wanita yang berafiliasi dengan PKI berlatih baris berbaris di jalanan Lombe, seorang bernama La Madinda memimpin mereka. La Madinda adalah guru/kepala sekolah di Sekolah Dasar Lombe yang juga adalah Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) Kecamatan Gu. Sebagaimana orang-orang PKI, baris berbaris yang masih dalam latihan itupun dilakukan dengan sepenuh disiplin dan bersemangat. Di tengah matahari kemarau yang bersinar terik menyengat, mereka gagah tegap menarik langkah. Debu berlayangan setiap kali mereka menghentak kaki melangkah maju.
Para Gerwani itu sebenarnya adalah hanya sekumpulan wanita kampung yang tak melek politik. Mereka semua tuna dalam segala terkait politik, sangat jauh dari bisa memahami ideologi komunis, umumnya mereka hanya ikut-ikutan karena menyenangi kegiatan baris berbaris, maka ketika mereka ditangkap dan diinterogasi di kantor koramil dan polsek Kecamatan Gu, tak ada yang bisa dilakukan oleh mereka kecuali hanya diam dan gemetar gelagapan karena ketakutan. Gelagap dan kediaman mereka itulah yang dianggap oleh aparat sebagai gelagat buruk yang adalah pengakuan mengiyakan segala yang dituduhkan.