Mohon tunggu...
LA2KP
LA2KP Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lembaga Analisis dan Advokasi Kebijakan Publik UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Lembaga Analisis dan Advokasi Kebijakan Publik (LA2KP) merupakan sub unit jurusan Administrasi Publik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang diresmikan pada tahun 2019 yang bergerak dalam mengkaji isu-isu terkini yang berkaitan dengan kebijakan publik, memberikan pelatihan dan advokasi kebijakan, serta melakukan riset dan analisis yang bekerjasama dengan lembaga ataupun instansi pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Lima Bulan Deflasi, Apakah Ekonomi Indonesia Sedang di Ujung Tanduk?

18 Oktober 2024   13:51 Diperbarui: 18 Oktober 2024   14:05 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: armstrongeconomics.com

Indonesia sedang menghadapi fenomena ekonomi yang mengkhawatirkan dengan terjadnya deflasi lima bulan berturut-turut. Di balik angka-angka statistik yang tampaknya positif ini, tersembunyi realitas pahit - daya beli masyarakat sedang merosot tajam. Sementara pertumbuhan ekonomi masih menjadi fokus utama, jutaan warga Indonesia justru berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan deflasi September 2024 mencapai 0,12%, menjadikannya deflasi terdalam dalam lima tahun terakhir. Fenomena ini bukan indikator ekonomi yang sehat, melainkan sinyal bahaya yang menunjukkan adanya masalah serius dalam perekonomian nasional.

Deflasi yang terjadi saat ini memiliki akar permasalahan yang kompleks. Salah satu penyebab utamanya adalah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang melanda berbagai sektor industri. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat hampir 54.000 tenaga kerja terkena PHK per Oktober 2024, dengan sektor manufaktur menjadi yang paling terdampak. Angka ini diperkirakan bisa melonjak hingga 70.000 menjelang akhir tahun. PHK massal ini tidak hanya mengurangi daya beli masyarakat secara langsung, tetapi juga menciptakan atmosfer ketidakpastian ekonomi yang mendorong masyarakat untuk menahan pengeluaran mereka.

Selain itu, minimnya penciptaan lapangan kerja baru, terutama di sektor padat karya, turut berkontribusi pada situasi ini. Dalam lima tahun terakhir, fokus kebijakan investasi pemerintah lebih condong pada sektor padat modal seperti pertambangan, yang meskipun memberikan kontribusi besar pada PDB, namun minim dalam penyerapan tenaga kerja. Akibatnya, terjadi fenomena penurunan kelas ekonomi, di mana lebih dari 9 juta warga kelas menengah Indonesia terpaksa turun kelas dalam kurun waktu yang sama.

Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah kebijakan moneter Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga tinggi dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Meskipun baru-baru ini BI telah memangkas suku bunga acuan menjadi 6%, dampak dari kebijakan suku bunga tinggi sebelumnya masih terasa. Uang yang beredar di masyarakat menjadi lebih mahal, sehingga menghambat aktivitas ekonomi dan investasi.

Fenomena deflasi berkelanjutan seperti ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Kita bisa melihat kembali ke masa pandemi COVID-19, dimana Indonesia juga mengalami deflasi beruntun. Namun, konteks saat itu berbeda karena deflasi lebih disebabkan oleh pembatasan mobilitas yang menekan konsumsi. Saat ini, deflasi terjadi di tengah situasi di mana aktivitas ekonomi seharusnya sudah kembali normal, yang membuat fenomena ini jauh lebih mengkhawatirkan.

Bahkan jika kita melihat lebih jauh ke belakang, ke masa krisis moneter 1998, Indonesia juga mengalami deflasi berkelanjutan. Meskipun penyebab dan skala krisisnya berbeda, ada pelajaran penting yang bisa dipetik. Saat itu, pemulihan ekonomi membutuhkan reformasi struktural yang menyeluruh, bukan hanya kebijakan jangka pendek.

Sumber: Diolah Penulis, 2024
Sumber: Diolah Penulis, 2024
Sumber: Diolah Penulis, 2024
Sumber: Diolah Penulis, 2024

Menghadapi situasi ini, diperlukan respons kebijakan yang komprehensif dan terkoordinasi. Pemerintah perlu melakukan evaluasi dan reorientasi kebijakan investasi, dengan memberikan perhatian lebih pada sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Stimulus untuk UMKM juga harus menjadi prioritas, mengingat peran vital sektor ini dalam perekonomian nasional. Bantuan modal, akses kredit yang lebih mudah, serta program pendampingan bisa menjadi langkah awal untuk memberdayakan UMKM di tengah situasi sulit ini.

Peningkatan keterampilan tenaga kerja juga menjadi kunci. Program pelatihan vokasi yang selaras dengan kebutuhan industri perlu diperbanyak, dengan melibatkan kerjasama aktif dari sektor swasta. Ini tidak hanya akan meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia, tetapi juga mempersiapkan mereka menghadapi tantangan ekonomi di masa depan.

Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali rencana kenaikan PPN menjadi 12%. Di tengah daya beli yang melemah, kenaikan pajak konsumsi bisa kontraproduktif dan semakin menekan konsumsi masyarakat. Sebaliknya, insentif pajak bagi perusahaan yang mampu mempertahankan atau menambah tenaga kerja bisa menjadi opsi yang lebih konstruktif.

Optimalisasi belanja pemerintah juga menjadi krusial. Percepatan realisasi proyek-proyek infrastruktur yang bersifat padat karya bisa menjadi stimulus jangka pendek yang efektif. Sementara itu, efisiensi dan efektivitas program bantuan sosial perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa bantuan tepat sasaran dan mampu menjaga daya beli masyarakat yang paling rentan.

Deflasi berkelanjutan ini bisa menjadi pintu masuk menuju resesi ekonomi jika tidak segera ditangani. Indonesia membutuhkan kebijakan ekonomi yang tidak hanya fokus pada angka-angka pertumbuhan, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan riil masyarakat.

Sudah saatnya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan menyadari bahwa ekonomi yang sehat bukan hanya tentang statistik yang menanjak, tetapi juga tentang rakyat yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak. Jika tidak ada tindakan cepat dan tepat, kita mungkin akan menghadapi konsekuensi ekonomi yang lebih serius di masa mendatang. Pelajaran dari krisis-krisis sebelumnya harus menjadi panduan dalam menghadapi tantangan ekonomi saat ini, dengan tetap mempertimbangkan konteks dan dinamika global yang terus berubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun