Oleh: Resta Sarah Bilqis Az-Zahra
Pemerintah saat ini tampaknya lebih menunjukkan kecenderungan yang mencolok dalam prioritas anggarannya, dengan fokus pada kenaikan tunjangan anggota DPR, sementara nasib guru honorer terabaikan, justru yang telah lama berjuang untuk kesejahteraan dan pengakuan yang layak. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan dan keberpihakan pemerintah terhadap sektor pendidikan. Menurut beberapa laporan, tunjangan seorang anggota DPR mencapai Rp3,2 miliar selama lima tahun, setara dengan gaji 600 guru honorer yang hanya menerima Rp5 juta per bulan berdasarkan UMR Jakarta.
Namun, saat ini masih banyak guru honorer yang tidak menerima pembayaran selama berbulan-bulan di beberapa daerah seperti NTT, mereka bahkan hanya menerima gaji sebesar Rp250 ribu per bulan. kondisi ini menunjukkan ketidaksetaraan yang mencolok dalam kesejahteraan tenaga pendidik dibandingkan dengan jumlah perhatian yang diberikan kepada para legislator terkait masalah tersebut.
Alasan utama di balik perhatian lebih kepada tunjangan DPR adalah adanya pengaruh politik. Anggota DPR memiliki kekuatan untuk memengaruhi kebijakan dan alokasi anggaran, sehingga mereka sering kali mendapatkan prioritas dalam hal tunjangan dan fasilitas. Hal ini berbanding terbalik dengan guru honorer, yang meskipun berkontribusi besar dalam pendidikan, tidak memiliki pengaruh politik yang kuat untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Selain itu, kebijakan anggaran juga menjadi faktor penting. Tunjangan DPR, termasuk tunjangan perumahan yang dinilai tidak mendesak, tetap dialokasikan meskipun ada kritik mengenai pemborosan. Dinilai lebih efektif, apabila dana tersebut seharusnya digunakan untuk meningkatkan kinerja DPR daripada menambah tunjangan yang tidak diperlukan. Sementara itu, guru honorer sering kali harus berjuang untuk mendapatkan gaji yang layak, dengan banyak dari mereka menunggu kepastian status kerja selama bertahun-tahun.
Kemudian ketidakpastian dalam kebijakan pengangkatan guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Meskipun ada upaya dari DPR untuk menyelesaikan masalah ini, Proses pengangkatan guru honorer menjadi pegawai negeri sipil (PNS) melalui PPPK masih menghadapi banyak kendala. Meskipun ada upaya untuk memperbaiki nasib guru honorer, seperti melalui Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2020, namun implementasinya masih lambat dan tidak merata. Di sisi lain, wacana kenaikan tunjangan DPR terus bergulir tanpa hambatan berarti.
Dengan rendahnya gaji guru honorer, menyebabkan mereka harus mencari pekerjaan sampingan lain untuk menyambung hidup, bahkan menjadi pemulung sekalipun. Misalnya saja  Alvi Noviardi (57), asal Kampung Bantar Muncang, Desa Sekarwangi, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, merupakan guru honorer yang sudah 36 tahun mengabdi di sekolah tempatnya mengajar. Gaji sebagai guru honorer tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya bahkan untuk memakai transportasi umum ke tempatnya mengajar ia harus berjalan kaki. Adanya kejadian ini menunjukkan betapa minimnya perhatian pemerintah terhadap guru honorer yang berkontribusi besar untuk mencerdaskan anak bangsa.
Dalam hal ini, pemerintah perlu mengevaluasi kembali prioritasnya. Kenaikan tunjangan DPR seharusnya tidak mengorbankan kesejahteraan tenaga pendidik yang telah mengabdi selama bertahun-tahun. Pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata terhadap pendidikan dengan memberikan perhatian yang lebih besar kepada guru honorer, memastikan bahwa mereka mendapatkan hak dan kesejahteraan yang layak sebagai penggerak dalam pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Sehingga tidak akan memunculkan pertanyaan yang berujung pada, "Apakah pemerintah benar-benar berpihak kepada rakyatnya, ataukah hanya pada segelintir elit?" Keputusan dan tindakan  diperlukan untuk menjawab tantangan tersebut dan memastikan keadilan bagi semua pihak.