Beberapa tahun terakhir sejumlah perusahaan melakukan penutupan operasi atau mengalami kebangkrutan, yang menyebabkan ribuan tenaga kerja harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Maraknya kasus PHK disebabkan oleh perlambatan ekonomi dunia dan kondisi geopolitik yang tidak menentu sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam berusaha. Hadirnya pandemi Covid-19 pada tahun 2019 pun turut memberikan andil terhadap maraknya kasus PHK massal, dimana banyak perusahaan yang terpaksa merampingkan tenaga kerja akibat penurunan pendapatan serta akibat ketidakpastiannya perekonomian.Â
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat hampir 53.000 tenaga kerja sudah menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia sepanjang Januari hingga September 2024. Dilansir data dari Kemenaker, sebagaimana dikutip Kontan, pada September 2024, tercatat terdapat lonjakan jumlah korban PHK sebanyak 6.753 orang. Sehingga, bila digabung sejak Januari lalu maka total pekerja yang terkena PHK mencapai 52.933 orang. Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia, kasus PHK paling banyak terjadi di daerah Jawa Tengah dengan total 14.767, lalu disusul Banten dengan jumlah 9.114 kasus, dan DKI Jakarta 7.469 kasus. Apabila dianlisis bedasarkan sektornya, kasus PHK terbanyak berasal dari sektor pengolahan yang mencapai 24.013 kasus. Kemudian disusul oleh sektor jasa yang menyampai 12.853 kasus dan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang mencapai 3.997 kasus.
Kondisi ini menjadi sebuah ironi, mengingat tenaga kerja memegang peranan penting dalam berbagai jenis kegiatan produksi dalam perusahaan. Terlebih, kesejahteraan dan tingkat ekonomi sebuah negara bisa dilihat dari faktor tenaga kerjanya. Tidak hanya itu, besarnya meningkatnya Tingkat PHK massal mampu melahirkan persoalan yang tak kalah mengkhawatirkan lainnya, yakni meningkatnya jumlah orang putus asa untuk memperoleh pekerjaan (hopeless). Badan Pusat Statistik mencatat bahwa julmlah oramg berusia 15-29 tahun yang mengalami hopeless of job pada tahun 2024 saja mencapai 362.522 jiwa. Kondisi ini menyebabkan banyaknya generasi muda yang mengalami frustasi, putuss asa hingga depresi.
Dalam menangani isu PHK, pemerintah berusaha mencegah meluasnya PHK dan menjadikannya sebagai langkah terakhir. Salah satu langkah yang diambil adalah bekerja sama dengan pengusaha untuk menghadapi resesi ekonomi global dan mencari solusi agar perusahaan tetap beroperasi, sehingga jumlah pekerja yang terkena PHK dapat ditekan. Selain itu, pemerintah memberikan beberapa rekomendasi untuk menunda keputusan PHK. Pertama, manajemen perusahaan diharapkan mengidentifikasi area yang bisa dihemat, seperti jam kerja dan bonus tahunan, yang harus disampaikan dan disetujui oleh pekerja atau serikat pekerja. Kedua, perusahaan dapat mempertimbangkan pengurangan atau penghentian kerja sama dengan pihak ketiga, termasuk outsourcing. Ketiga, manajemen juga bisa menjual aset pasif untuk memperkuat keuangan perusahaan.Â
Meskipun demikian, upaya pemerintah dianggap belum optimal dalam menangani peningkatan kasus PHK. Seharusnya, pemerintah dapat memberikan jaminan yang lebih kuat bagi warga negara yang terdampak PHK, mengingat Indonesia telah memiliki aturan tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Program JKP. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, yang mencakup manfaat JKP seperti bantuan tunai, akses ke informasi pasar kerja, serta pelatihan bagi pekerja yang terkena PHK. Namun, hingga saat ini pelaksanaannya masih belum optimal karena kendala dalam administrasi yang belum tersusun dengan baik .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H