Penulis: Fauzan Adhim Suparno dan Shofa Nurfauziah
(Mahasiswa Administrasi Publik UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Korupsi sebuah kata yang rasanya belakangan ini bahkan di akhir tahun ini sudah menjadi tidak asing dan tabu lagi dibicarakan dan diberitakan di republik ini. Mulai dari lingkup terkecil di desa lalu berlanjut pada skala nasional bahkan internasional sekalipun selalu memerikan kabar buruk yang bernuansa sama. Korupsi sendiri telah menjadi salah satu tantangan terbesar dalam upaya negara meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan perekonomian dan bahkan dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Sifat dasar dari korupsi yang sangat merusak ini, bahkan telah digolongkan sebagai kejahatan khusus oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Melihat situasi ini, negara-negara menyikapi korupsi dengan sangat serius melalui berbagai pendekatan. Korupsi baik dari segi perilaku dan kasus langsung di seluruh dunia sangat bisa dipastikan akan menimbulkan berbagai jenis kejahatan lainya misalnya penyalahgunaan kekuasaan, munculnya keresahan sosial atau public disturst bahkan perusakan lingkungan hidup yang serius.
Padahal pada dasarnya, korupsi itu sendiri bisa disamakan dengan kejahatan khusus berdasarkan Statuta Roma, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi. Korupsi juga bukanlah kejahatan yang patut disepelekan dan termasuk kedalam kejahatan "White Collar" atau kerah putih yang artinya perilaku koruptif yang berdampak destruktif ini lebih cenderung terjadi pada kalangan kelas atas baik itu para pejabat, dan para pemangku kepentingan. Berdasarkan hal tersebut perlu kita benahi dan renungi bersama apa yang terjadi dengan republik negara tercinta kita yang sedang diobrak-abrik oleh maraknya kasus korupsi ini.
Tentu dalam segala penyelesaian masalah kita memerlukan cara pandang dan menentukan posisi yang tepat dari mana kita bisa memulai menyelesaikan masalah atau umumnya dikenal sebagai analisis. Berbicara mengenai korupsi tentu skala yang dapat digunakan dan populer adalah indeks persepsi korupsi (IPK) yang dirangkum oleh berbagai lembaga terpercaya baik itu ICW (Indonesia Corruption Watch), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan berbagai lembaga internasional lainya. Indeks persepsi Korupsi atau (IPK) Indonesia berdasarkan penelitian oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) menunjukan tren memburuk pasalnya urutan kita terjun bebas dari skor 38 menjadi skor 34 atau berada di peringkat 110 dari 180 negara.
Persepsi ini tentu ada bukan tanpa sebab dan pasti berasal dari akibat yang nyata. Misalnya sejauh ini dalam Laporan Tren Penindakan Korupsi 2022 oleh Indonesia Corruption Watch, salah satu temuan umum yang disorot adalah adanya kerugian negara senilai Rp 42,747 triliun. Tidak dapat dibayangkan betapa banyaknya anggaran negara potensial yang terbuang sia-sia oleh para 'bedebah' koruptor ini. Berdasarkan data dari Lembaga yang sama, ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus. Hal ini menandakan bahwa dalam era Bapak Presiden Jokowi yang diagungkan karena kerakyatanya saja justru tidak dapat memberikan nuansa egaliter yang sama di kalangan pejabat yang terus tertangkap dan harusnya malu.
Dari segi legislasi juga sampai saat ini usaha untuk memperbaiki sudah ada namun terkesan 'dipersulit' salah satunya adalah UU perampasan aset yang tidak kunjung disahkan. Terlepas dengan adanya dukungan dari Kemenkumham dan surat presidenpun tidak berpengaruh banyak pada DPR selaku badan legislasi yang seharusnya mengadvokasikan UU perampasan aset ini. Perlu diketahui Bersama bahkan di 2021 saja dengan kerugian negara sebanyak 61 triliun rupiah tanpa adanya UU perampasan aset yang sedang diajukan ini, dengan hanya mengandalkan infrasturktur hukum yang ada jumlah uang yang kembali pada negara hanya sekitar 1 triliun saja.
Meskipun berbagai langkah telah diambil untuk pemberantasan korupsi, fakta menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan menurut catatan TI (Transparency International), peringkat Indonesia kini berada di posisi 1/3 negara terkorup di dunia dan di Asia Tenggara berada jauh di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam dan Thailand. Oleh karena itu, diperlukan political will yang kuat dan upaya yang komprehensif dari berbagai stakeholder untuk menghadapi tantangan ini.
Sejalan dengan itu, perlu dipertegas bahwa penguatan lembaga pemberantasan korupsi, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harus menjadi fokus utama. Kelembagaan KPK harus diperkuat, dan independensinya harus dijaga dari intervensi politik yang dapat menghambat kinerjanya. Evaluasi pimpinan KPK perlu berdasarkan capaian konkrit dalam memberantas korupsi, bukan dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek.
Selanjutnya, sinergi di antara lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan PPATK harus terus ditingkatkan. Koordinasi yang efektif dan pertukaran informasi yang transparan di antara lembaga-lembaga ini menjadi kunci untuk mengoptimalkan proses penyelidikan dan penyitaan aset hasil korupsi.
Tingkat political will pemerintah dan DPR juga menjadi poin krusial. Prioritas harus diberikan pada pembahasan dan pengesahan RUU serta revisi regulasi terkait pemberantasan korupsi yang selama ini terhenti. Peningkatan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum menjadi bagian integral dari perubahan ini. Tak kalah pentingnya, transparansi dan akuntabilitas penggunaan uang negara perlu ditingkatkan. Pemerintah harus membuka akses secara maksimal terkait aliran keuangan dan anggaran negara agar publik memiliki peran aktif dalam pengawasannya.
Inilah waktu bagi semua pihak untuk bersatu dalam memperjuangkan pemberantasan korupsi. Melalui langkah-langkah konkret ini, kita dapat mengharapkan hasil nyata dalam membangun Indonesia yang lebih sejahtera dan bersih dari korupsi. Semangat bersama untuk mencapai tujuan ini akan menjadi kunci keberhasilan bagi negeri ini.Inilah saatnya bagi Indonesia untuk menjawab tantangan maraknya korupsi dengan sebuah reformasi total yang tidak hanya melibatkan pemimpin baru yang berkomitmen, tetapi juga melibatkan setiap individu dalam masyarakat.
Momentum ini bukan hanya sekadar panggilan untuk bertahan, melainkan panggung bagi kita semua menjadi agen perubahan antikorupsi. Reformasi tidak hanya terjadi di tingkat pemerintahan, melainkan juga di hati dan tindakan setiap warga negara. Dengan membangun kesadaran antikorupsi, menolak praktik korupsi, dan mendukung inisiatif bersama, kita bisa menciptakan lingkungan yang bersih dan adil. Jadi, mari bersatu, mendukung pemimpin yang berkomitmen, dan bersama-sama berperan aktif dalam membangun Indonesia yang bebas dari korupsi untuk masa depan yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Bayu, D. (2023) ICW: Penindakan Kasus Korupsi Meningkat Pada 2022, Data Indonesia: Data Indonesia for Better Decision. Valid, Accurate, Relevant. Available at: https://dataindonesia.id/varia/detail/icw-penindakan-kasus-korupsi-meningkat-pada-2022 (Accessed: 08 December 2023).
Ini Alasan Mengapa Korupsi Disebut Kejahatan Luar Biasa (2023) Pusat Edukasi Antikorupsi. Available at: https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230209-ini-alasan-mengapa-korupsi-disebut-kejahatan-luar-biasa (Accessed: 08 December 2023).
Laporan Akhir tahun ICW 2022: ICW (2023) Laporan Akhir Tahun ICW 2022 | ICW. Available at: https://antikorupsi.org/id/laporan-akhir-tahun-icw-2022 (Accessed: 08 December 2023).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H