Ditulis Oleh : Rifqi Ihsan Firdaus
Kota Bandung dijuluki sebagai Kota Kembang karena memiliki banyak taman asri yang dipenuhi dengan bunga-bunga cantik. Namun dibalik keindahannya, Kota Bandung identik dengan kota yang tingkat kemacetannya tinggi. Tidak heran, kota ini memiliki 'prestasi' yaitu termasuk kedalam kota termacet di Indonesia menurut survei Asian Development Outlook 2019-Update mengalahkan kota-kota lainnya seperti DKI Jakarta dan Kota Surabaya.
Bagi masyarakat kota Bandung dan sekitarnya, kemacetan rasanya bukan hal yang aneh lagi. Biasanya kemacetan terjadi di pagi hari saat pergi kerja, sekolah, kuliah dan saat kembali ke rumah pada sore hari. Kemacetan di Kota Bandung terjadi di beberapa titik seperti di Kopo, terusan Buahbatu, bunderan Cibiru hingga Cileunyi dan masih banyak titik lain yang menjadi pusat kemacetan.
Kemacetan lalu lintas menunjukkan kegagalan sistem transportasi publik di Kota Bandung. Disini kita bisa mengamati dari jumlah penggunaan kendaraan pribadi yang jauh lebih besar dibandingkan kendaraan umum. Hal ini didasari karena tidak adanya sistem transportasi publik yang terintegrasi, terkoneksi, menjangkau berbagai pelosok di perkotaan, dan memiliki tarif yang terjangkau.
Dalam konteks pembangunan, pembaruan sarana transportasi publik oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung cenderung hanya mengganti moda yang lama dengan kendaraan yang lebih baru saja. Sementara itu jika kita berbicara sistem, sistemnya tetap seperti dulu yang dikelola dengan cara tradisional. Kenyataannya yang dilakukan Pemkot Bandung hanya sebatas pembangunan jalan seperti jalan layang atau rencana jalan tol dalam kota yang pada akhirnya hal tersebut dapat membuat masyarakat memilih transportasi pribadi dibandingkan dengan transportasi publik.
Untuk mengatasi kemacetan, Pemerintah Kota Bandung akan melakukan transformasi transportasi publik pada tahun 2024. Hal tersebut sudah direncanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah (RPJM) Kota Bandung sebagai bagian dari perbaikan dan pembangunan infrastruktur.
Transformasi transportasi publik di Kota Bandung adalah langkah yang sangat positif. Perubahan ini tidak hanya meningkatkan mobilitas penduduk, tetapi juga memiliki dampak positif pada lingkungan dan ekonomi kota. Pelaksana Harian Wali Kota Bandung mengatakan nantinya akan diganti dengan public transport yang jauh lebih representatif dari kenyamanan dan keamanan sehingga sopir tidak ada lagi saling kejar-kejaran setoran karena dia sudah dibayar oleh operator. Sistem seperti ini akan menghasilkan pelayanan transportasi publik yang prima karena sopir berorientasi pada kepuasan pelanggan, bukan pada penghasilan.
Saat ini pemerintah dan masyarakat saling menyalahkan dan menuduh perihal siapa penyebab dari kemacetan. Pemerintah cenderung menuduh bahwa sopir angkot yang berhenti ditengah jalan, pasar kaget, becak, dan perilaku warga adalah penyebab dari kemacetan. Biasanya keadaan itu diucapkan dalam beberapa liputan yang dilakukan dimedia massa ataupun wawancara dengan pejabat publik,
Bergeser ke sudut pandang masyarakat, kemacetan di Kota Bandung terjadi karena kegagalan pemerintah daerah yang tidak bisa menciptakan nilai keamanan, kenyamanan dan nilai-nilai yang bisa membuat warga beralih pada transportasi publik. Pernyataan tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena yang dikatakan oleh warga memang benar apa adanya terjadi di Kota Bandung. Pernyataan ini didukung dengan data dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung bahwa tingkat penggunaan kendaraan pribadi di Kota Bandung mencapai 81,77%. Jumlah tersebut jauh lebih banyak dari pengguna angkutan umum yang hanya menyentuh 18,23%.
Jika berbicara siapa yang harus disalahkan, maka jawabannya adalah kita semua yang harus disalahkan, baik pemerintah maupun warganya. Kemacetan ini hanya bisa diatasi jika kedua belah pihak bahu-membahu mewujudkan beragam solusi yang ada. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan masyarakat, begitupun sebaliknya. Menuju Indonesia Emas pada tahun 2045, sifat saling menyalahkan antara pemerintah dan masyarakat harus dihilangkan. Tanamkan pepatah ini pada diri masing-masing bahwa "pemerintah harus dikritik sekeras-kerasnya, namun pemerintah juga harus dibantu sekuat-kuatnya".
Referensi :
Ayobandung.com / Warga Bandung Enggan Naik Transportasi Umum, Padahal Naik TMB Cuman Rp.1
Asian Development Outlook 2019-Update
Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2022
BandungBergerak.id / Kemacetan, Kegagalan Sistem, dan Dosa Individu
Bandung.go.id / Transformasi Transportasi, Tahun Depan Pemkot Bandung Konversi Angkot Jadi Mikrobus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H