Emisi karbon menjadi salah satu penyebab perubahan iklim di dunia. Proses ini dapat berdampak pada lingkungan hidup, kesehatan manusia, hingga menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Emisi karbon berhubungan dengan perpindahan suatu benda, Emisi juga bisa disebut sejumlah gas panas dan cahaya dan yang dikirimkan keluar. Sedangkan emisi karbon yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon, seperti CO2, solar, LPJ, dan bahan bakar lainnya atau dalam artian sederhana, emisi karbon adalah pelepasan karbon ke atmosfer.
Penyebab terjadinya emisi karbon berkaitan dengan beberapa aktivitas seseorang atau keberadaan seseorang seperti bangunan, perusahaan, negara. Jejak karbon juga bisa berasal dari aktivitas sehari-hari manusia. Dengan berkembangnya zaman makin banyak masyarakat yang memperbarui entah ekonomi ataupun asset barang seperti kendaraan motor maupun mobil, membuat padatnya jalanan, dengan banyaknya masyarakat yang memiliki kendaraan masing-masing dibandingkan dengan menaiki kendaraan umum tentu saja mempengaruhi dalam penyebaran polusi termasuk di daerah Ibukota Jakarta. Emisi karbon menyebabkan anomali cuaca/iklim ekstrem, menaikkan suhu global, mencairkan lapisan es di kutub, menaikkan permukaan laut, dan meningkatkan risiko kebakaran hutan dan hujan lebat.
Pada internet bisa diketahui bahwa Sektor transportasi di Indonesia menyumbang sekitar 5% dari total emisi, adapun sebagian terbesar emisi disumbang dari sektor kehutanan dan perubahan tata guna lahan. Di dalam NDC (Nationally Determination Contribution) Indonesia, sesuai dengan kategorisasi dalam IPCC, transportasi termasuk dalam sektor energi. Terhadap sektor energi, transportasi menggunakan sekitar 26% total energi. Dari keseluruhan subsektor transportasi, konsumsi energi oleh transportasi darat/jalan raya sekitar 85% (sumber: Outlook Energi Indonesia, 2019). Sebanyak 41% energi yang dikonsumsi subsector transportasi digunakan oleh sepeda motor.
Pemerintah terus berupaya mengurangi emisi karbon untuk transisi energi. Dalam rangka penyelenggaraan NEK (Nilai ekonomi karbon) Pembangkitan Tenaga Listrik, Kementerian ESDM saat ini sedang menyusun regulasi tentang Tata Cara Penyelenggaran Nilai Ekonomi Karbon pada Pembangkitan Tenaga Listrik. Regulasi tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan komitmen pemerintah dalam pengendalian emisi gas rumah kaca, khususnya di sektor energi.
Jejak karbon dapat dikurangi melalui melalui peningkatan efisiensi energi dan perubahan gaya hidup. Pengalihan penggunaan energi dan transportasi seseorang dapat berdampak pada jejak karbon primer. Contohnya adalah menggunakan transportasi umum, seperti bus dan kereta api, memasang lampu hemat energi dan mengganti kendaraan yang memakai bbm menjadi kendaraan listrik yang tidak mengeluarkan polusi dan tidak membutuhkan energi bbm. Dengan menggunakan kendaraan listrik ini juga bisa mengurangi suara bising dari mesin kendaraan.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Pemerintah Jokowi akan menurunkan emisi karbon 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Hal tersebut disampaikan Jokowi dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow, United Kingdom.
Dalam hal ini emisi karbon sangat berdampak penting bagi kehidupan manusia karena Kesehatan juga terjamin bagi lingkungan dengan banyaknya polusi udara tentu membuat lingkungan menjadi rusak dan kotor membuat orang-orang malas untuk keluar kecuali mengendarai mobil/kendaraan pribadi masing-masing yang membuat padatnya kendaraan di jalan raya dan makin bertambahnya polusi udara.
Pemerintahan merekomendasikan kebijakan dengan kesediaan membayar dari pengguna transportasi perkotaan dalam mengurangi emisi karbon dan sebagai transisi sebelum implementasi pajak karbon di Indonesia juga Implementasi carbon offset (penyeimbangan karbon), Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres Nomor 98 tahun 2021. (Menko Airlangga, 2022) Indonesia sedang dalam proses persiapan penerapan instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Instrumen NEK pada dasarnya memberi harga pada emisi karbon yang dihasilkan dari berbagai kegiatan produksi maupun jasa. Penerapan NEK diharapkan dapat mendorong industri untuk lebih sadar lingkungan dan juga mengurangi emisi Gas Rumah Kaca pada batas tertentu. Di sisi lain, instrumen NEK berperan sebagai instrumen pendanaan alternatif untuk mencapai target perubahan iklim Indonesia, baik Nationally Determined Contribution 2030 maupun Net Zero Emission 2060,"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H