Kemarin siang, (12/01/25) seorang teman mengirimi saya sebuah pesan.
Mengabarkan satu peristiwa pergantian massal perangkat desa oleh PJ Kepala Desa Hendea yang baru dilantik beberapa pekan lalu.
Dia menyampaikan perasaan dan pendapatya kepada saya. Bukan ia tidak setuju. Tapi dirasanya pergantian itu begitu terasa ganjil.
Â
Walaupun ia menyadari kejadian serupa sudah lazim terjadi dibanyak tempat. Satu hal yang biasa saja. Namun, yang bikin ia gelisah adalah kok kenapa harus sebanyak itu yang diganti. Ada apa? Tanyanya.
Teman tadi lalu bertanya, bolehkah Pj Kepala Desa mengangkat dan memberhentikan perangkat desa?
Boleh!
Sebab, Pj Kepala Desa memiliki hak dan wewenang yang sama dengan Kepala Desa definitif.
Ada memang Undang-Undangnya. Tata cara beradab pergantian perangkat desa.
Dia memintaku untuk ikut menanggapi. Maka saya kemudian berpikir dalam-dalam. Dan tentu saja, saya ingin memberi jawaban bijaksana.
Walapun saya menganggap kejadian itu sebagai hal lumrah. Barangkali saja tidak dengan sebagian yang lain.
Beberapa orang menanggapi lewat group media sosial internal di kampung. Forum Komunikasi Pemuda Hendea. Mengalir berbagai  narasi. Ada yang setuju dan tidak setuju.
Dukungan dan kritik terhadap pimpinan sudah mahfum terjadi. Â Berbeda dengan negara monarki
absolut. Di negara demokrasi seperti Indonesia, kebijakan seorang Presiden pun boleh dikritik.
Rocky Gerung bilang begini, "kritik berguna untuk menguji ketajaman moral seorang pemimpin. Jika seseorang pemimpin melempem saat dikritik berarti dia tidak cocok berada di negara demokrasi"
Yang unik, Pj Kepala Desa yang baru di Hendea itu bukan orang lain. Berbeda dengan penjabat sebelum-sebelum itu.
Beliau adalah orang Hendea itu sendiri. Satu tokoh yang kata-kata dan pendapatnya selalu terdengar bijak didalam rapat-rapat musyawarah desa.
Lalu kenapa harus mendepak hampir seluruh pegawai kantornya?
Kenapa hanya menyisahkan Bendahara dan Sekretaris Desa.
Begitupula dengan para perangkat yang diangkat dan diberhentikan itu. Mereka bukan orang lain. Bahkan masi sesama keluarga dekat. Bahkan keluarga Pj Kepala Desa juga.
Apakah ada aroma nepotisme disini? Saya tidak melihat itu.
Sebagai pimpinan, ia mempunyai wewenang untuk itu. Tanpa melihat siapa. Sebab pimpinan punya tanggung jawab melaksanakan  program dan kegiatan desa, pimpinan perlu mengangkat perangkat desa yang loyal dan mumpuni untuk mengawal Kepala Desa.
Perangkat yang diberhentikan bukan berarti tidak mampu. Mereka rata-rata telah lama mengabdi. Sudah menunjukan kinerja dan loyalitas  bertahun-tahun.
Tetapi sekali lagi, setiap pimpinan memiliki preverensi tersendiri. Yang tidak harus sama dengan pendahulunya.
Namun barangkali begini juga,
Kita sebagai orang Buton. Masi memegang teguh adat dan budaya.
Bahwa pengambilan kebijakan perlu berada diatas kepastian aturan dan moral etik, agar semua pihak muda memahami, menyadari, hak dan kewajibannya.
Sehingga demokrasi tidak berubah menjadi tirani. Agar terjaga keadilan yang universal. Agar kebijakan tidak melukai rasa keadilan. Agar kewenangan tidak menjadi kesewenang-wenangan.
Sebab menjaga harmoni dalam masyarakat adalah diatas segala-galanya. Nilainya tidak sepadan dengan jumlah Dana Desa semahal apapun. Â
Kemudian, tugas pimpinan yang paling utama adalah membangun merit syistem.
Yaitu, kebijakan dan manajemen yang didasarkan pada kompetensi, kualifikasi, dan kinerja. Sistem ini diterapkan secara adil dan wajar tanpa diskriminasi.
Lagian, yang diinginkan warga kepada Pj Kepala Desa adalah untuk menyelenggarakan Pergantian Antar Waktu (PAW) untuk melanjutkan sisa masa jabatan Alm. Kepala Desa La Aly (2019-2025).
Atau mungkinkah, Pengengakatan dan Pemberhentian perangkat desa baru merupakan manuver kepentingan Pj Kepala Desa untuk memenangkan orangnya dalam PAW nanti.
Entahlah
Wiranggaleng!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H