30 Juni 1997 secarik surat keputusan di teken Pemerintah Daerah Buton. Sebuah surat yang menandai kelahiran sebuah tatanan baru kelompok masyarakat agraris yang berdiam di utara Sampolawa
Desa baru terlahir. Hendea, begitu di sebut. Secara administrasi kini tercatat di Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan.
Sebelumnya, penduduk desa ini adalah komunitas masyarakat adat yang menghuni dataran hijau sebelah timur Rongi.
Barulah tahun 1966 dalam sebuah ajakan, komunitas ini berpindah secara sukarela ke daerah yang mudah di akses pemerintah. Dengan begitu Hendea mendapat status dusun. Yakni dusun Hendea di Desa Sandang Pangan.
Merunut lebih jauh kebelakang, pada era pemerintahan Kesultan Buton. Masyarakat desa Hendea adalah rumpun masyarakat Laporo berstatus Maradika yang di pimpin oleh empat orang tua.
Yakni masing-masing Parabela, Waci, Moji dan Pandesuka yang di pilih dan di tetapkan lewat Majelis Permusyawaratn Sara.
Kini, secara umum masyarakat desa Hendea adalah agraris tulen dengan adopsi tekhnologi pertanian sederhana. Namun, tak sedikit yang mulai bergerak di bidang jasa, pedagang dan usaha kecil.
Dari sisi sosial budaya. Budaya masyarakat Hendea adalah enkulturasi dari budaya Buton itu sendiri dengan karakter lokalitas adat dan budayanya yang khas.
Sebagai masyarakat agraris yang berbudaya. Karakter itu tersimbol dalam perayaan pesta tahunan Ma'ata'a. Secara linguis Ma'ata'a ini berarti makan-makan. Akan tetapi itu hanyalah istilah, dia lebih daripadanya.