Mohon tunggu...
Kyota Hamzah
Kyota Hamzah Mohon Tunggu... Freelancer - penikmat sejarah yang kebetulan menulis

Penulis puisi, cerita sejarah dan hal-hal menarik soal sejarah. Kadang menulis fenomena yang terjadi di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mari Menertawakan Diri Melalui Literasi

10 Oktober 2019   10:46 Diperbarui: 10 Oktober 2019   10:55 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita ini terlahir dengan kelucuan yang sama namun beda menyikapinya. Kita mudah tertawa menertawakan diri yang "seregenje", tidak jelas maksudnya yang penting viral. Tetapi jarang yang mengambil hikmah pelajaran dari sesuatu yang tengah jadi buah bibir. Yang ada kita sering menyuruh anak yang bernama Hikmah buat belajar pelajaran semata. (Mulai ga jelas ini). Intinya adalah kita tengah menertawakan "kelucuan" kita yang terjebak dalam bahaya rendahnya literasi kita.

Ada kabar yang kurang mengenakkan, negeri ini sudah menjadi surga hoax dan narasi kebencian karena tingkat baca kita begitu rendah. Menurut hasil laporan Program for International Student Assessment (PISA) pada bulan Maret 2015, kita berada di tingkat 62 dari 70 negara yang disurvei. Sedangkan menurut Central Connecticut State University (CCSU) setahun setelah laporan sebelumnya, posisi kita ada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei.

Sepertinya ada yang aneh kawan. Ibarat ranking di kelas, kita ini 'juara" dua dari belakang. Data yang ada di atas diambil 5-6 tahun yang lalu, kalau sekarang sudah mulai naik walau masih perlu perhatian juga sih. Mengutip hasil surveillance dari World Culture Index Score pada tahun 2018, posisi kita berada di urutan 17 dari 30 negara yang disurvei.

Kita perlu bersyukur karena sudah naik kelas ceritanya karena kemudahan akses dan peranti komunikasi, namun kita juga perlu ingat dan waspada mengenai tingkat pemahaman bacaan yang dibaca. Kalau merujuk laman komimfo, orang Indonesia gemar "mentelengi" atau menatap layar gawai selama sembilan jam sehari dan sering bercuap-cuap ria tanpa baca pesan sebelumnya. Kalaupun baca, yang jadi fokus utamanya malah judulnya saja tanpa membaca lengkap isinya.

Jadi tak perlu kaget bila hoax dan kawannya begitu menjamur di jagat maya. Tetapi jarang kali dibaca, hanya sekadar bagi saja dari grup sebelah. Jangankan kabar yang terang-terangan hoax, kabar yang benar pun jarang dibelai eh maksudnya dibaca. Pertanyaannya adalah "gawe opo?" (buat apa?) Kalau cuma berbagi sesuatu yang tidak jelas?

Saya teringat pesan dari Bu Afifah Afra tentang kesenjangan literasi kita di Jombang beberapa waktu lalu. Ada masa yang terlewat dari sebuah proses belajar masyarakat Indonesia kala itu. Idealnya, peradaban dikatakan maju bila melalui proses pembelajaran dari lisan, tulisan, lalu gambaran atau citra. Kebiasaan lisan sudah mulai kuat mulai dari awal kemerdekaan hingga medio 60an yang dipelopori oleh radio.

Dan seharusnya, setelah era lisan itu harusnya melewati era tulisan dimana kita sudah biasa membaca dan menuliskan apa-apa yang ingin disampaikan melalui media cetak, baik koran, majalah, komik, atau buku. Sayangnya itu terlewat karena adanya geger para elit politik kala itu yang jegal sana, jegal sini agar lawan jangan berkembang. Jadi mau nulis atau baca jadi merinding sendiri karena takut dirazia. Sehingga era ini terlewat dan langsung masuk era gambaran melalui kehadiran televisi dan kantor siaran utama, TVRI yang mulai lahir di tahun 1962 bertepatan dengan ASEAN GAMES tahun itu.

Setelah lepas dari pembatasan informasi di tahun 1998, Kita memasuki era baru yang sekarang kita sebut era digital. Sayangnya lagi kita ketinggalan salah langkah penting dalam belajar berupa budaya tulisan. Selama era yang terlewat kita belum siap mempelajari bagaimana bersikap dan bertindak pada sesuatu yang berbeda dari pemahaman kita. Bagaimana menelaah bacaan secara utuh dan bijak.

Di era saat ini, kita punya kebebasan berpendapat namun lupa berpendapat yang membebaskan diri dari kedunguan. Ketakutan kita di masa lalu pada sesuatu yang berbeda masih membekas sampai sekarang. Tak ayal bila kita sering debat kusir nirfaedah demi mencari pembenaran bukan kebenaran. Lalu bagaimana cara memutus mata rantai tersebut? Salah satu caranya adalah melek literasi.

Sebenarnya literasi itu apa sih?

Literasi memiliki pengertian yang cukup banyak. Menurut Najwa shihab, literasi kemampuan membaca data dan mengolahnya menjadi karya. Literasi tidak selamanya berputar tentang baca tulis semata, sebab literasi bersifat luas dan berkembang menyesuaikan keadaan. Kalau hanya baca tulis itu bukan literasi namun calistung alias baca tulis hitung. Dan aslinya literasi dan calistung itu beda jauh, kita ambil contoh membaca label pada film misal yang sedang hit saat ini, yaitu film Joker.

Nah bila calistung, kita membaca label film ini khusus dewasa namun setelahnya apa? Ya ini cuma label bahwa film itu tulisan "khusus dewasa" dan kita tak tahu maksud dari diberikannya label itu apa? Kita bisa baca namun tak ada kemauan untuk mengolah "karepe opo? (Maunya apa?)" Dari sebuah pesan yang tersurat.

Nah sedangkan literasi, kita membaca label film itu lalu memutuskan untuk menonton atau tidak? Apa ini cocok dilihat sendiri atau perlu mengajak kawan? Lalu apa yang bisa diambil dari film tersebut? Semua yang dilihat akan diolah dan direnungkan, kemudian diambilah kesimpulan dari apa yang diperolehnya.

Lalu, apakah calistung itu salah? Sebelumnya tidak juga, justru kita perlu mempelajarinya dahulu. Hanya saja kita perlu meningkatkan potensi lebihnya selain sekadar input data semata dengan baca tanpa tahu makna. Saya teringat pesan dari seorang penulis novel nasional bernama Bu Kirana Kejora tentang membaca, membaca bukan hanya soal buku semata tetapi segala sesuatu yang bisa diambil hikmahnya. Intinya adalah membaca keadaan dan mengambil apa yang menjadi pelajaran penting.

Jadi pada dasarnya, literasi itu adalah kemampuan dasar kita untuk bertahan hidup. Bertahan hidup? Memang perang apa? Terdengar aneh namun itulah realitanya. Literasi adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan mempelajari apa yang ada disekitar kita. Segala sesuatu yang kita ketahui dan pahami digunakan untuk menghasilkan karya maupun kriya sesuai budaya dan kebiasaan yang ada.

Kita semua tidak bodoh, namun malas itu pasti. Bahkan yang menulis ini pun pasti memiliki rasa malas. Hanya saja bagaimana kita memposisikan mana yang harus dilakukan dan salah satu cara membiasakannya adalah terus belajar, belajar itu salah satu upaya berliterasi dengan apa saja yang bisa kita pahami. Boleh dengan membaca, melihat, mendengar, maupun bermain berdasarkan apa yang ingin dipelajari.

Saya yakin sekarang sudah banyak yang bisa membaca tulisan, namun memahami tulisan itu yang perlu ditingkatkan lagi. Bila sekadar baca maka tak ubahnya burung be yang pandai berkicau tapi tak tahu apa yang dikicaukan. Jadi mari membaca sebenar-benarnya baca dengan memahami bukan manis di bibir semata.

Apa literasi jadi solusi semua ini?

Mungkin ini yang masih jadi tanda tanya besar. Mungkinkah melek literasi jadi jawaban dari ketidakjelasan ini? Jawabannya tergantung anda semua. Kemauan and jawaban yang menentukan jalan hidup kita dan anak turun kita. Melek literasi tanpa dibarengi kesadaran moral hanya jadi bahan gunjingan semata daripada pencerahan.

Oleh karena itu, perlu kiranya menyelaraskan pengetahuan, pengamalan, dan pertimbangan yang seimbang. Literasi adalah peranti dan aslinya fungsi peranti adalah mempermudah kehidupan kita. Peranti tidak bisa bekerja dengan baik bila kemampuan yang mumpuni.

Pengetahuan diwakili oleh melek literasi, kemudian diterapkan melalui pengamalan berupa akhlak yang baik sesuai keyakinan masing-masing. Bila keduanya bekerja dengan baik, maka perlu ditunjang dengan pertimbangan berupa moral dan budaya. Maka langkah menuju manusia yang bebas dari kebodohan semakin dekat.

Akan tetapi, sebagaimana yang kita ketahui itu susah. Susah bila kepentingan semu yang diusung elite tertentu tidak menghendaki masyarakat sekitar sadar akan itu. Ketidaktahuan orang lain adalah keuntungan bagi manusia lainnya. Kalau semua pandai lalu siapa yang mau dibodohi? Mungkin itu yang ada dibenak para oknum yang tak bertanggung jawab.

Berliterasi itu penting dalam mengolah informasi yang ada di sekitar, bermoral dan berbudaya menjadi bingkai berpikir serta membentuk hasil dari literasi. Akan tetapi, semua tidak bisa berjalan dengan baik bila tidak ada yang melaksanakannya, sebab itu akhlak budi pekerti mewujudkan semuanya.

Kalau semua dihilangkan salah satu saja akan geger tatanan masyarakat. Dan contoh yang nyata saat ini ya itu, bertebarannya hoax yang didasari oleh kepentingan pribadi yang tak terarah. Jatuh menjatuhkan, hina menghinakan, serta hujat menghujat jadi santapan sehari-hari di era yang katanya modern namun kelakuan seperti monyet.

Kita tidak kekurangan orang pandai, tapi kekurangan orang berbudi pekerti. Kesalahan utama kita memuja akal namun lupa menanam pengertian. Yang dijunjung kecerdasan intelektual sebagai raja diraja namun menendang kecerdasan emosi yang dipandang menghambat akal bulus dan memperkosa kecerdasan spiritual sesuai akal yang kesurupan birahi fana. Contohnya banyak, maka jangan sampai kita membuat "setan-setan" yang berbahaya itu. Jadikan melek literasi, budi pekerti, dan akhlak nurani berjalan beriringan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun