Mohon tunggu...
Kyota Hamzah
Kyota Hamzah Mohon Tunggu... Freelancer - penikmat sejarah yang kebetulan menulis

Penulis puisi, cerita sejarah dan hal-hal menarik soal sejarah. Kadang menulis fenomena yang terjadi di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Sengkuni Tanpa Sadar

19 Agustus 2019   11:50 Diperbarui: 19 Agustus 2019   12:07 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Secara tidak langsung, apa yang kita lakukan saat ini tengah menciptakan bibit-bibit Sengkuni tanpa sadar. Kita menuduh pihak tertentu sebagai Hama dan yang dituduh menyangka penuduh adalah pendusta. 

Semua menyimpan dendam dan amarah untuk dibalas di momen yang tepat. Kita tidak mau disebut sebagai Sengkuni, tetapi sikap kita jauh melebihi Sengkuni itu sendiri.

Dalam kisahnya, dia terpaksa menjadi licik karena keadaan. Lingkungan yang memandang rendah kelompok lain menjadikan dirinya bertahan hidup dengan kecurangan. Memang dosa dan kesalahan yang dilakukannya banyak, namun kebaikan yang dilaluinya juga banyak.

Dia tidak memandang rendah manusia yang memiliki bakat melebihi kastanya sebagaimana Karna yang dianggap anak kusir diangkat menjadi adipati. Serta menyarankan keponakannya, Duryudana berguru dengan Baladewa yang notabenenya adalah saudara dari lawannya.

Lalu apa bedanya Sengkuni dulu dengan yang sekarang? Sengkuni saat ini malah today memiliki tujuan mendesak selain mengikuti birahinya saja. 

Sengkuni dulu takut akan kematian sebagaimana keluarganya dan harus mendapat jabatan untuk bertahan, sedangkan Sengkuni-sengkuni sekarang takut kehilangan jabatan namun mematikan mereka yang berpotensi. 

Dia terpaksa memakan saudara-saudara dan orang tuanya demi berlangsungnya kehidupan, sedangkan kita memakan saudara sendiri demi kepuasan sendiri.

Sengkuni adalah simbolisasi dari ambisi dan ketakutan yang berjalan beriringan. Antara kekacauan dan keteraturan yang bertolak belakang namun saling menyerang. 

Dia yakin keteraturan yang salah akan menghasilkan bahaya yang besar. Niat baik namun caranya salah akan mencelakakan sesama. Mengingatkan tanpa teladan sama saja dengan omong kosong.

Dia melihat Widura yang seharusnya mengingatkan Destarasta kala salah, dia bijak namun diam melihat penindasan oleh saudara angkatnya. 

Atau Pandu yang masih memandang kasta sebagai acuan dan memilih kekasih yang bukan dari wilayah bawahannya. Dia menggugat kebiasaan itu merencanakan kekacauan yang bisa menyadarkan semua orang dan momen tepat itu ada saat adu dadu. 

Saat seorang raja dan ratu bisa menjadi budak dalam waktu yang singkat dan tidak ada gugat karena terbelenggu oleh aturan mereka sendiri.

Jadi, bila saat ini ada yang memanfaatkan kekacauan sebagai jalan utama, nampaknya kita telah menerima sifat Sengkuni sebagai bagian dari kita. Kita lebih suka melihat orang lain sengsara tapi takut jika kita sendiri yang sengsara. 

Lebih suka menghujat tapi tidak terima bila dihujat. Maka yang seperti ini sebenarnya sudah di atas Sengkuni itu sendiri. Dia menghasut karena punya tujuan, sedangkan tujuan dari menghasut kita apa? Ingin dikenal? Ingin dikata hebat? Hanya Kita sendiri yang bisa menjawabnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun