Mohon tunggu...
Kyon Asma
Kyon Asma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

saya hanya suka keyboard laptop.\r\nvisit my blog here ---> www.kyonsroom.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketupat Paskah Ch.2

20 Oktober 2013   00:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:18 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapp..tapp...tappp..

Suara langkah terdengar semakin berat dan dekat dengan pintu. Hatinya semakin ia mantapkan. Tiba-tiba sesuatu yang dingin menggenggam tangan Dini..

“Allahu Akbaaar!!!” teriak Dini ketakutan.

“Hei! Kamu kenapa, sih? Berdiri kayak paku begitu,” seru seorang pria seusianya seraya menarik kotak makanan Dini.

“Kamu kenapa, sih, pake ngagetin segala?” tanya Dini sedikit lega. “Tanganmu juga kenapa dingin sekali?”

“Aku kan naik motor, pastilah dingin.”

Dini teringat suara aneh dari dalam kelas. Kepalanya ia tengokkan kembali ke pintu. Ia melihat sosok seorang lelaki berseragam.

Keningnya dikernyitkan. “Kamu.. sejak tadi.. di dalam?” tanyanya tidak percaya.

Lelaki itu hanya diam dan berjalan cuek meninggalkan Dini dan Ridha yang bengong.

Kelas semakin riuh. Satu persatu wajah baru muncul melewati pintu kelas. Dini berhasil melewatkan kesempatan untuk memilih bangku favoritnya. Bangku terdepan. Ia memutuskan duduk di bangku terbantet. Seorang diri. Ia masih penasaran dengan lelaki misterius pagi tadi.

‘Setidaknya di posisi ini aku bisa mengamati gerak geriknya,aku yakin ada yang aneh dengannya’ batinnya. Kali ini akibat keseringan baca komik Detective Conan

Dini menajamkan pandangannya kepada sosok lelaki berkulit putih di kursi ketiga baris seberangnya. Lelaki itu hanya duduk dengan tangan sibuk mencoret-coret sesuatu. Sesekali ia menjawab sapaan teman kelas lainnya.

“Rafael, kali ini kita sekelas lagi!” seru seorang gadis pada lelaki itu.

‘Ooh..namanya Rafael..’ simak Dini.

“Rafael, boleh duduk di sampingmu?” tanya seseorang lelaki.

Rafael hanya mengangguk

“Rafael aku di belakangmu, ya?” seru siswa lainnya.

Dan lagi-lagi hanya dibalas anggukan.

‘Hm..kelihatannya dia cukup populer.’

‘Eh, tunggu, bukan sesekali ia disapa. Tapi hampir semua teman sekelas mengenalnya..’ sadar Dini. Dini menengadahkan kepalanya mengamati kelas. Mereka terlihat akrab satu sama lain. ‘Apakah mereka pernah dari kelas mos yang sama? Ataukah dari sekolah yang sama?’

Ding! Benar ternyata sebagian besar siswa kelas berasal dari sekolah yang sama dan merupakan sekolah unggulan dibanding sekolah Dini.’Kenapa mereka semua terdampar di sekolah ini, sih?’

Dini menyadari dirinya sendiri di kelas itu yang tidak memiliki teman. Satu pun. Dan plusnya. Ia berhasil memilih posisi tersudut di kelas. Posisi di mana keberadaan akan semakin sulit disadari. Ouch!

“Rafael, jangan lupa kamu ambil cucian di jemuran, Nak!” seru seorang wanita dari dalam dapur. Tangan kirinya sibuk membalik ikan dan tangan kanannya sibuk menyuapi seorang balita.

“Iya.” Jawab Rafael pelan dari kamarnya lantas tidak terdengar sang ibu.

Sigap lelaki berkulit kuning langsat dengan perawakan gagah itu meninggalkan bacaannya dan menuju halaman belakang. Satu persatu pakaian kecil dan beberapa seragam diambil dan dimasukkannya ke keranjang.

“Rafael, kamu panggil Romi mandi. Sejak siang ia tidak pulang ke rumah. Mungkin sedang di rumah Pak Hadimin,” seru ibu itu lagi ketika melihat anak sulungnya masuk membawa keranjang.

“Iya.”

Kali ini langkah Rafael santai menuju rumah Pak Hadimin sesuai perintah sang ibu. Wajahnya datar. Sikapnya tak malas tak juga semangat.

Langkahnya memasuki rumah Pak Hadimin. Benar sang ibu. Adiknya ada di sana. Sepeda Genio Merah sang adik terkulai kaku di tanah.

“Permisi Pak Aji, Romi ada di sini?”

“Iya, kamu masuk ke belakang saja, anak-anak sedang berkumpulm,” jawab Pak Hadimin ramah.

Rafael berlalu pamit masuk lebih dalam.

“Saaatu nuuusa saaatu bangsa...” sayup sayup terdengar suara beberapa bocah semangat berlatih menyanyi.

Rafael teringat kejadian pagi tadi. Ia yang berbaring di kursi paling belakang terbangun oleh suara seorang gadis yang cukup fales. Rafael menggerakkan bibirnya, membentuk sunggihan kecil menahan tawa sembari menggendong adiknya yang telah menyadari kehadiran kakaknya.

“Ayo mandi sama kakak,” ujarnya tenang dan berlalu membawa adiknya yang sudah sumringah.

Matahari berangsur menjauh. Temaram jingga dan ungu melayang di langit saling berpadu. Sore itu ruang-ruang rumah Dini tampak bernuansa pink hasil siluet langit setelah hujan pukul 5. Kain gorden biru tipis di kamar Dini melambai menggelitik hidung Dini. Desisan pulas Dini terhenti. Sambil terantuk ia menyadari sebentar lagi salat Maghrib dan ia belum sempat salat.

“Astaghfirullah...Mama, kok nda bangunin aku?” gerutunya beranjak dari tempat tidur.

Kakinya terhenti. Ia sadar sang ibu telah tiada beberapa minggu silam.

‘Di sore seperti ini, di ruangan dengan nuansa seperti ini, di saat aku lupa salat, mama akan datang. Mengelus lembut rambutku sembari mengatakan, “Aku gelitik, yah...” dan kami pun akan bergulat di tempat tidur seperti dua anak kecil.’

Menahan air matanya, Dini mengambil wudhu tertib. Tidak ada gunanya ia bersedih.

Pak Sahar memasukkan tiga kantung besar tepung terigu ke dalam sebuah ember besar berisi air. Diaduknya adonan tadi dengan sebuah pengaduk kayu. Urat nadi Pak Sahar tampak naik di antara kulitnya yang terbilang cukup legam dibanding teman karyawannya yang lain. Dini menyadarinya.

“Bapak, kenapa bapak kulitnya hitam sekali padahal kerjanya di ruang tertutup?” tanya Dini sambil mencelupkan beberapa helai potongan tempe ke dalam ember tadi.

“Itu karena bapak kadang keluar dari satu gedung ke gedung lain jalan kaki.”

“Memangnya tugas kasir sesulit itu? Apa tidak ada pekerja khusus yang mengantarkan barang atau dikirim lewat rekening saja?”

Pak Sahar mengerutkan dahinya.

“Mungkin karena mereka hanya percaya pada bapak, Nak..”

Dini mengangguk dan membalas senyuman ayahnya. Sesaat kemudian muncul beberapa pemuda menghampiri mereka.

“Mbak, tahunya 3, pisang molennya 4, selebihnya tempe,” seru salah seorang pemuda menyerahkan lembaran 10.000 rupiah.

Dengan cekatan Dini menjepit beberapa gorengan di depannya dan menyerahkan kepada si pemuda.

“Loh, kamu Dini, kan? Dini yang sekelas sama aku.” Seru pemuda berambut jambul di depannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun