Suara deruman gas motor ayah Dini berbunyi membahana di halaman parkir SMA Septika Makassar. Dini turun dari motor dengan lemas. Sudah hampir seminggu sejak Dini menginjakkan kaki di sekolah yang terpandang pinggiran itu. Reputasi prestasi dan masalah yang bantar disiarkan sekolah di televisi lokal itu cukup membuat mimik Dini setiap bangun pagi tidak menyenangkan bak asam jawa.
Sudah cukup bengek mata Dini menangisi hidupnya yang cukup suram setelah ditinggal pergi sang ibu beberapa minggu lalu. Dan kini ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya tidak diterima di sma-sma favorit di Makassar seperti yang diimpikannya selama belajar keras semasa SMP. Kepergiaan sang ibu yang tiba-tiba membuat peluh hati Dini dan melembekkan semangat hidupnya untuk belajar sebelum hari tes masuk sma dilaksanakan.
“Hhh.....” desah Dini panjang.
Ayahnya sudah cukup kenyang melihat tingkah putri semata wayangnya itu.
“Semangat!” seru ayah Dini tersenyum sambil mengangkat kedua kepalan tangan di depan dadanya. “Kamu bisa!” lanjutnya menirukan gaya bahasa seorang motivator kondang yang marak muncul di MetroTV.
“Ck...iya..” jawab Dini pelan, “Sudah, nanti Bapak terlambat, assalamualaikum...” katanya berlalu setelah mencium tangan kanan ayahnya.
Ayah Dini tersenyum ringan dan berlalu. Motornya melaju kencang meninggalkan pintu gerbang sekolah menuju kantor tempat ia bekerja selama 19 tahun terakhir.
Lagi. Dini mendesah pasrah dengan jalan gontai menuju ruang kelas baru yang akan ditempatinya selama 1 tahun ke depan. Pagi itu masih pukul 6.45 pagi. Belum ada siswa lain yang terlihat selain petugas kebersihan.
“Wah, Dini kali ini kamu yang kedua. Tumbenan.” Timpal Pak Udin si Petugas kebersihan yang sibuk memungut sampah daun di pinggir lapangan basket.
Dini mengerti maksud Pak Udin. Biasanya ia siswa pertama yang menampakkan diri di sekolah. Kantor ayahnya yang berada di Kota Maros cukup mengharuskan ayahnya tiba di kantor pusat lebih cepat agar tidak ketinggalan bus menuju kantor cabang. Dan demi menghemat biaya transportasi, Dini sudah biasa ikut dengan ayahnya dan mendapat rekor sebagai siswa tanpa keterlambatan selama lebih dari 10 tahun sejak usia kelas 0 kecil taman kanak-kanak.
“Yang semangat ya, Pak, kerjanya! Aku ke kelas dulu.” Pamit Dini.
Dini yang termasuk siswa cukup pandai menempati kelas X-1. Kelasnya kebetulan berada di posisi terdalam di sekolah. SMA Septika Makassar memang selain terkenal memiliki reputasi buruk, sekolah ini memiliki popularitas sebagai sekolah terluas di Makassar. Mungkin karena posisinya yang berada di pinggiran kota, lebih tepatnya di pinggiran hutan.
Kaki Dini terhenti tepat di depan ruang kelas barunya. Batinnya tidak cukup kuat untuk hanya menginjakkan kaki melangkah masuk dan mengambil kesempatan bagus untuk memilih posisi duduk sesuka hati.
Air liurnya ditelan paksa sambil terus menatap ruang kelas sebelum akhirnya berbalik arah dan memilih duduk di tempat duduk koridor. Tampaknya ia lebih memilih menunggu teman kelas lainnya.
Masih teringat jelas riuh rendah suara jeritan gadis-gadis yang ia dengar dari kelas itu. Beberapa hari yang lalu tepatnya hari ketiga mos, masa orientasi siswa, SMA Septika dikejutkan oleh rintihan-rintihan dari beberapa gadis yang menempati kelas X-1. Mereka kesurupan. Kesurupan massal.
Ungkap beberapa kakak kelas, hal itu sudah biasa terjadi setiap tahun di hari ketiga mos. Ujar mereka, sekolah itu memang memiliki banyak penunggu dan datangnya murid baru yang tidak sopan akan membuat mereka marah dan memberi peringatan.
Penasaran, Dini dan beberapa teman kelasnya yang kebetulan ditempatkan sementara di kelas X-5 berbondong-bondong ikut menyemarakkan kerumunan orang di depan kelas X-1.
Ini kali pertama Dini melihat langsung orang kesurupan. Rintihan, cacian, dan kekehan beberapa murid membuat mereka menjadi tontonan yang cukup menarik. Lantunan ayat kursi juga ikut menyeruak di dalam ruangan kelas.
Badan Dini yang cukup singset menggeliat menembus kerumunan siswa lainnya di depan pintu demi memenuhi keingintahuannya. Tanpa sadar tubuhnya terdorong ke depan dan langsung jatuh persis menghadap tubuh seorang gadis berambut panjang yang tergelepar-gelepar berusaha ditahan beberapa siswa dan guru. Dan sungguh beruntungnya Dini, gadis itu adalah gadis yang paling histeris dibanding gadis-gadis lainnya. Sontak bulu kuduk Dini naik.
“Kamu ngapain masuk ke sini!? Teriak seorang guru mengagetkan Dini, “Keluar!” tegasnya lagi.
Kaget, Dini beranjak berdiri untuk keluar dari kerumunan sebelum sebuah tangan meraih jilbab Dini dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
“aknfosieugoiswefoh...” Sebuah kalimat aneh. Kalimat yang tak ia tahu artinya dan tak dapat ia ingat jelas. Saat itu ia hanya terpaku dengan jantung berdegup kencang.
Guru yang tadi meneriaki Dini langsung menarik kembali gadis berambut panjang yang merenggut jilbab Dini kasar. Dini yang terpana kemudian berlari menerobos kerumunan dan menuju ruang kelasnya. Peluh membasahi leher Dini. Nafasnya masih tersengal lantaran lari kelimpungan ditambah dengan momen tak terduga yang baru saja dialaminya.
Dini masih penasaran dengan kalimat aneh yang dibisikkan padanya.
‘Astaghfirullah...tadi itu bukan mantra kutukan, kan?’ batin Dini dalam hati. Dini yang kebanyakan baca komik menjadi semakin bergidik dan menerka-nerka.
‘Sial banget dapet kelas ini...’ Dini membalikkan kepalanya melirik pintu kelas X-1. Desahan napasnya diperpanjang 7 harakat dan bibirnya dipermanyun satu senti.
Jam tangan diliriknya dan telah menunjukkan pukul 7 pagi.
‘Kenapa belum ada yang datang, sih?’
Bosan, Dini pun meraih kotak sarapannya di tas. Dengan santai ia memakan satu persatu roti selai kacang di tangannya sambil bernyanyi lagu Satu Nusa Satu Bangsa dengan suara yang tidak jelas.
Brek!
Tiba-tiba terdengar suara hentakan kursi dari ruang kelas. Dini terdiam. Kunyahan penuh roti di mulutnya ia hentikan untuk mendengar lebih jelas.
Khiiiitt... tampak seperti suara gesekan kursi di lantai.
Dini menahan napas dan menelan paksa kunyahan roti yang mulai melunak. Indera pendengarannya semakin ia pekakan. Tapi kali ini posisinya tidak lagi menengok dan membelakangi kelas. Kini ia berdiri menghadap dan memegang tasnya. Tampaknya siap-siap kabur.
Tap..tap..tap..
Kini suara langkah kaki yang didengarnya. ‘Bukankah tadi kelas itu kosong?’ batin Dini tidak percaya. Kotak makanan ia tutup pelan nyaris tanpa suara. Matanya melirik tajam ke arah pintu kelas.
Tapp..tapp...tappp..
Suara langkah terdengar semakin berat dan dekat dengan pintu. Hatinya semakin ia mantapkan. Tiba-tiba sesuatu yang dingin menggenggam tangan Dini..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H