Mohon tunggu...
Kylea T. Anafda
Kylea T. Anafda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Airlangga Program Studi Antropologi

Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan bahasa, musik, film, dan desain grafis.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Perfilman Indonesia yang Semakin Jaya: Sebuah Kebanggaan atau Malapetaka?

7 Juni 2022   16:38 Diperbarui: 7 Juni 2022   16:49 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster KKN di Desa Penari/Twitter/@awisuryadi via suara.com

Pada tahun 2022, banyak sekali film dan webseries atau webdrama yang menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Seperti Layangan Putus (tayang pada tahun 2021 dan berakhir pada tahun 2022) untuk kategori webseries dan KKN di Desa Penari untuk kategori film sebagai contoh. 

Tak kalah dengan sinetron di televisi, Layangan Putus mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia yang saat itu masih demam drama Korea berjudul The World of the Married yang kurang lebih alur ceritanya tidak jauh dari isu perselingkuhan dalam kehidupan rumah tangga. 

Lain dengan sinetron biasa di mana tokoh wanita biasanya pasrah terhadap perilaku suaminya yang tukang selingkuh dan hanya bisa menangis di bawah hujan, webseries Layangan Putus dapat menciptakan tokoh utama wanita yang mampu mempertahankan harga dirinya. 

Webseries tersebut juga semakin viral ketika beberapa adegan disebarluaskan di media sosial, termasuk dialog ikonik "It's my dream, Mas. Not hers!" yang dilontarkan oleh tokoh Kinan.

(Dari Kiri ke Kanan) Poster Layangan Putus dan The World of the Married/imdb.com
(Dari Kiri ke Kanan) Poster Layangan Putus dan The World of the Married/imdb.com

Sementara itu, KKN di Desa Penari yang telah ditunggu-tunggu oleh penontonnya juga berhasil mendobrak 9 juta penonton di Indonesia dan menjadi film terlaris kedua di Indonesia menyusul Avengers: End Game.

 Film bergenre horror telah berkembang dengan cukup pesat, terutama apabila mengingat fase di mana film horror Indonesia hanya mengandalkan unsur 'yang penting ada setannya' dan adegan yang tidak senonoh tanpa memikirkan alur cerita yang tertata. 


Poster KKN di Desa Penari/Twitter/@awisuryadi via suara.com
Poster KKN di Desa Penari/Twitter/@awisuryadi via suara.com

Mungkin dapat dikatakan bahwa film horror Indonesia mulai berkembang pada tahun 2016-2018an, ketika film The Doll (2016), Danur (2017), dan Pengabdi Setan (2017) rilis di bioskop. Kemudian disusul oleh Sebelum Iblis Menjemput (2018) yang berhasil menyabet penghargaan di Spanyol.

(Dari Atas ke Bawah) Poster The Doll, Danur, dan Sebelum Iblis Menjemput/imdb.com
(Dari Atas ke Bawah) Poster The Doll, Danur, dan Sebelum Iblis Menjemput/imdb.com

Keempat film yang disebutkan memiliki aspek pengambilan gambar yang sudah sangat jauh berkembang, CGI (Computer-generated Imagery) yang semakin terlihat halus, serta aspek-aspek lainnya. 

Hal ini juga tidak hanya terlihat pada film-film horror Indonesia saja, tetapi juga fim Indonesia dengan genre yang lain. Salah satunya adalah film pahlawan super berjudul  Gundala (2019), meski alur cerita kurang kuat dan terasa ada yang kurang pada film ini. 

Ada pula film pahlawan super Indonesia lain yang patut ditunggu dan akan tayang tahun ini, yaitu Satria Dewa GatotKaca. Yang mana pengambilan gambar serta CGI yang dipakai tentu semakin terlihat canggih apabila dilihat dari trailer-nya.


Di balik kejayaan film Indonesia di masa kini, apakah mengundang malapetaka? Tentu saja hal tersebut dapat terjadi, salah satunya adalah ketika ada film yang menggunakan suatu formula tertentu dan sukses, maka akan ada film lain yang menggunakan formula sama. Memang terkadang film yang klise itu diperlukan dan tidak akan membuat seseorang bosan. 

Tapi ada juga formula dalam film yang apabila digunakan terus-menerus, membuat film Indonesia seakan tidak memiliki ide lain untuk digunakan. Sehingga, masa kejayaan tersebut hanya akan berlangsung sesaat saja dan berubah menjadi sebuah malapetaka.

Contohnya adalah ketika menggunakan secara terus-menerus formula remake alias membuat film berdasarkan film lama dengan alur cerita yang cukup identik. Di tahun ini, kurang lebih tercatat akan ada dua film remake yang tayang di bioskop. 

Bukankah hal ini akan mengakibatkan masyarakat yang sudah cukup tertarik dengan film-film Indonesia, menjadi bertanya-tanya "Kenapa harus ada remake-nya kalau bisa nonton film yang asli?" Lain halnya dengan film reboot alias film yang dibuat berdasarkan film lama tetapi dirombak alurnya, sehingga mengakibatkan adanya cerita baru yang cukup berbeda dari cerita pada film sebelumnya.

Perlu diingat juga bahwa, 'beda kepala beda pikiran'. Tiap individu tentu memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda mengenai hal ini. Di luar sana pasti ada yang berpikir bahwa tidak ada salahnya menggarap film remake. Toh, ada juga film-film remake yang malah lebih sukses dari film aslinya. 

Pada akhirnya, sebuah kebanggaan atau malapetaka dari kejayaan perfilman Indonesia ini adalah bergantung pada seperti apa film dan seperti apa audiens-nya. 

Bagaimana dengan pendapatmu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun