Semenjak Kementerian Sumber Daya Alam China rilis peta baru atas klaimnya di Laut Cina Selatan yang memuat ten-dash line atau sepuluh garis putus-putus pada Agustus 2023, eskalasi sengketa Laut Cina Selatan di Indonesia menjadi meningkat. Wilayah perairan Indonesia menjadi terancam karena garis-garis yang dibuat Cina menyinggung sebagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Indonesia. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) diartikan sebagai wilayah laut yang terletak di luar perairan teritorial dan memiliki panjang 200 mil laut dari garis pangkal (Sunoto, Fahriani, and Napang 2023, 5). Dalam konteks kedaulatan Indonesia, Indonesia berarti memiliki hak untuk mengeksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang tersedia sepanjang zona tersebut untuk kebutuhan nasionalnya. Hal ini sesuai dengan UU RI No. 5, Bab III, Pasal 4(1)(a), yang berbunyi: Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan: Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus, dan angin. Ketentuan tersebut juga sejalan dengan apa yang ditulis dalam Pasal 56 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.Â
Laut Cina Selatan dinilai memiliki potensi sumber daya alam yang kaya berupa cadangan minyak dan gas alam yang bernilai menguntungkan dalam aspek ekonomi. Bukan itu, potensi perikanan di Laut China Selatan juga sangat besar dan pemanfaatan aspek ini bisa berdampak pada pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan nilai ekonomi, hingga peningkatan industri perikanan bagi negara yang memiliki hak atas wilayah tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, negara-negara yang bersengketa seringkali memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk memperkuat posisinya di kawasan. Potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu negara bisa dijadikan sebagai modal diplomasi atau untuk memperkuat hubungan dagang dengan negara lain. Dengan demikian, kontestasi di Laut China Selatan menjadi panggung persaingan yang sengit bagi negara-negara yang berkonflik, yakni bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk beberapa negara anggota ASEAN, Taiwan, dan China.Â
Secara umum, sengketa Laut China Selatan juga mengundang ketegangan dalam aspek keamanan dan pertahanan. Â Negara-negara yang bersengketa, termasuk Vietnam, China, dan Filipina, telah membangun fasilitas militer berbentuk pangkalan militer di wilayah-wilayah yang mereka sengketakan. Pengawasan dan patroli militer juga gencar dilakukan oleh negara-negara yang berkonflik di Laut China Selatan. Dalam konteks eksplorasi sumber daya alam, sering kali konfrontasi antar kapal militer dan sipil terjadi. Insiden macam itu dapat memperburuk ketegangan dan berpotensi memunculkan penyerangan kapal di laut. Insiden tersebut pernah terjadi antara China dengan Filipina, di mana kapal Penjaga Pantai Beijing menembakkan meriam air terhadap kapal patroli Manila di Laut China Selatan pada 2 Maret 2024. Kapal coast guard China juga dikatakan sering berlayar di sekitar wilayah ZEE milik Indonesia sejak Desember 2022 hingga awal Januari 2023. Meskipun kapal yang melintas di atas ZEE diperbolehkan dalam UNCLOS 1982, pengawasan pun masih dilakukan oleh Angkatan Laut Indonesia guna menjamin keamanan laut teritorial Indonesia.Â
Upaya Indonesia untuk membendung dampak sengketa Laut China Selatan bisa dibuktikan lewat beberapa hal, salah satunya adalah dengan meningkatkan aspek pertahanan. Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto pernah dikirim ke Amerika Serikat untuk menjalin kerja sama di bidang Pertahanan pada November 2023. Indonesia juga berfokus pada pengawasan dan pemantauan di wilayah Laut China Selatan, seperti penjagaan wilayah laut yang dilakukan oleh TNI AL, TNI AU, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI dan pengintaian wilayah perbatasan oleh TNI AU.Â
Permasalahan, pengawasan berkaitan erat dengan kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing negara yang bersengketa karena hal ini menyangkut batasan wilayah yang jatuh pada kewenangan suatu negara. Lebih jelas lagi, kedaulatan dapat diartikan sebagai hak eksklusif untuk menjalankan otoritas politik tertinggi (legislatif, yudikatif, eksekutif) atas suatu wilayah geografis, atas sekelompok orang, atau untuk diri mereka sendiri (Tatar and Moisi 2022, 293). Namun, yang terjadi pada sengketa Laut China Selatan merupakan bentuk tumpang tindih klaim dan kepentingan negara-negara yang berbeda-beda atas perebutan suatu wilayah laut teritorial, sehingga pembatasan kedaulatan negara-negara yang bersengketa menjadi kabur. Dalam konteks Laut China Selatan, klaim yang dilakukan oleh China mengancam potensi Indonesia untuk mencapai kedaulatan penuh di sebagian wilayah di Laut China Selatan, dari aspek sumber daya energi, perikanan, mineral, hingga militer. Di saat Indonesia menerapkan kedaulatan laut teritorialnya berdasarkan UNCLOS 1982, China mendasari klaimnya atas faktor sejarah. Ketidakselarasan dasar hukum untuk menentukan wilayah mana yang masuk pada kedaulatan masing-masing negara menghambat upaya negosiasi di antara negara-negara yang bersengketa di Laut China Selatan.
Indonesia telah melakukan beberapa upaya penyiagaan kekuatan militer dari beberapa aspek. Indonesia telah mengerahkan kapal-kapal perang Indonesia: KRI Karel Satsuit Tubun (356), KRI Usman Harun (USH) 359, dan KRI John Line 358 untuk mengusir kapal ikan China di wilayah ZEE Indonesia. Indonesia juga sering melakukan latihan militer internal dan juga latihan militer bersama dengan AL dari negara lain, seperti Jepang. Bentuk latihan seperti itu berguna untuk kapabilitas pertahanan, serta menjaga stabilitas kawasan. TNI AU juga mengerahkan jet tempur F-16 yang diawaki oleh 60 personel teknisi/kru darat dan enam penerbang ke LCS untuk bersiaga dan patroli di Pangkalan TNI AU (Lanud) Raden Sadjad di Ranai, Natuna . Patroli keamanan dan keselamatan juga dilakukan oleh Bakamla RI untuk mengamankan wilayah Indonesia, di mana Kementerian Pertahanan memfasilitasi kapal-kapal patroli Bakamla RI dengan senjata sejak Agustus 2020 (Sulistyani, Pertiwi, and Sari 2021, 95-96).
Selain itu, Indonesia yang beberapa kali telah mengirimkan nota protes terhadap pemerintah China pada 2016, 2019, dan 2020 sebagai bentuk protes karena China dinilai telah melanggar ZEE Indonesia (Sulistyani, Pertiwi, and Sari 2021, 93). Indonesia juga memanfaatkan forum internasional untuk mengangkat isu Laut China Selatan selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini dibuktikan dengan kesepakatan Code of Conduct (CoC) antara ASEAN dengan China terkait perundingan pedoman tata perilaku Laut China Selatan. Meskipun Indonesia telah menjadi aktor penting dalam proses perdamaian sengketa LCS di ASEAN, perilaku China yang cenderung frontal dan agresif perlu disandingkan dengan sikap negara yang juga demikian rupa. Meningkatkan aspek pertahanan juga bertujuan sebagai bentuk menyeimbangi pengaruh dan kekuatan China di wilayah Laut China Selatan yang begitu besar dengan aksi China yang sering melakukan latihan militer, membangun pangkalan militer, hingga pengawasan di wilayah LCS.Â
Berangkat dari hal tersebut, Indonesia masih perlu meningkatkan upaya pertahanan maritimnya untuk memperkuat kedaulatan maritimnya dan untuk mencegah pihak lain menguasai wilayah maritim Indonesia di LCS. Walaupun Indonesia memiliki langkah lebih tegas akhir-akhir ini dan cenderung mengutamakan kepentingannya di LCS, Indonesia masih harus menjaga konsistensinya dan mengambil langkah-langkah lain yang juga penting.Â
Pemerintah Indonesia harus bisa meningkatkan fasilitas militer dan meminimalisir ketergantungannya untuk membeli produk militer dari luar negeri. PT Pindad merupakan salah satu wadah bagi Indonesia untuk meningkatkan fasilitas militernya dan untuk menumbuhkan kemandirian tersendiri. PT Pindad merupakan perusahaan milik pemerintah Indonesia yang berfokus pada produksi alutsista, mulai dari persenjataan, amunisi, hingga kendaraan tempur. PT PAL Indonesia juga merupakan perusahaan yang berfokus pada pembangunan dan perawatan kapal-kapal di Indonesia yang berguna untuk memperkuat armada laut Indonesia. Pemerintah Indonesia harus mampu memanfaatkan kehadiran PT Pindad dan PT PAL Indonesia untuk pengembangan fasilitas militer di maritim guna memfasilitasi Indonesia untuk lebih siap dalam menghadapi ancaman di LCS. Pemerintah Indonesia perlu mengalokasikan anggaran yang efektif untuk mempercepat produksi dan pengembangan fasilitas militer tersebut.Â
Upaya peningkatan industri militer juga membutuhkan sumber daya manusia yang terampil dan ahli di bidangnya. Untuk menjamin kualitas sumber daya manusia, pemerintah Indonesia bisa mendorong kerja sama bilateral, maupun multilateral untuk melakukan kerja sama di bidang pengembangan industri militer lewat transfer of knowledge yang bisa diimplementasikan dengan bentuk pelatihan dan penelitian. Kerja sama dalam konteks tersebut bisa diimplementasikan lewat pelatihan dan penelitian bersama, yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dan pengetahuan terkait praktik industri militer yang efektif.Â
Kerja sama tersebut berguna untuk memfasilitasi sumber daya manusia dengan ilmu dan keterampilan yang dibutuhkan untuk pengembangan dan pembangunan industri militer yang lebih baik. Melakukan kerja sama seperti ini bisa membantu Indonesia untuk belajar dari negara yang sudah terlebih dahulu mahir dalam industri militer dan memiliki sistem pertahanan militer yang baik.Â