Desa Linggoasri merupakan salah satu desa di Kecamatan Kajen Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai wilayah cukup luas. Jika menuju arah Dieng dari Kabupaten Pekalongan, setelah Desa Gandarum pasti kita akan melewati Desa Linggoasri sebelum melewati Kecamamatan Paninggaran. Desa Linggoasri sendiri merupakan desa yang wilayahnya didominasi oleh wilayah hutan. Maka tak heran hampir seluruh masyarakatnya pasti mempunyai lahan perkebunan ataupun pertanian. Dan kata "asri" di nama desa ini tentunya sangat merepresentasikan Desa Linggoasri sendiri yang memang masih rimbun dengan dominasi hutanya.
Selain mempunyai kekayaan alam yang melimpah, salah satu hal yang menjadikan Desa Linggoasri menarik untuk dikunjungi adalah desa dengan multi religion. Desa Linggoasri tidak hanya mempnyai keberagaman alam, tapi juga keberagaman agama. Per 2024 ini, di Desa Linggoasri masih mempunyai masyarakat dengan agama yang heterogen, yaitu Islam yang paling mendominasi, disusul Hindu, dan agama Buddha. Bahkan ada dalam satu rumah, penghuni di dalamnya berbeda agama.
Heterogenitas agama di Desa Linggoasri ini menjadikan daya tarik tersendiri. Masyarakat desa dengan culture keagamaan yang berbeda disini justru mempunyai rasa sosial dan kerukunan yang tinggi. Desa Linggoasri memang sudah moderat, bahkan jauh sebelum ada program moderasi beragaman dari pemerintah. Saking moderatnya, saya kira tidak mudah menebak masyarakat Desa Linggoasri yang beragama Islam siapa, yang beragama Hindu siapa, dan yang beragama Buddha siapa. Selain dari religion culture atau atas pemberitahuan dari masyarakatnya sendiri mungkin sulit membedakan agama tiap orang di Desa Linggoasri.
Masyarakat Desa Linggoasri menjunjung tinggi kemanusiaan dan kerukunan sosial diatas segalanya. Hal ini tentu saja sejalan dengan apa yang dicita-citakan oleh Gusdur sendiri --Presiden ke-4 Indonesia- bahwa tidak ada yang lebih penting dari kemanusiaan. Bayangkan saja jika kita memberi salam ala Islam kepada masyarakat non muslim, mereka akan menjawab salam sebaliknya, pun bagi orang Islam Jika berbicara pernikahan pun sama, pernikahan lintas agama bukan lagi menjadi hal yang tabu disini. Artinya, sudah tak ada lagi sekat fanatisme beragama dalam berkehidupan masyarakat di Desa Linggoasri ini.
Tak ketinggalan juga, ketika ada ritual atau kegiatan keagamaan setempat, bukan hanya menghargai, masyarakat Desa Linggoasri justru terbiasa saling membantu tanpa membedakan apakah itu kegiatan untuk agamanya atau  bukan. Misal saja saling mengucapkan selamat ketika Hari Raya keagamaan oleh Islam ataupun Hindu, saling menghargai ketika sedang menjalankan ibadah masing-masing agama, bahkan juga masyaraka muslim yang membantu pembuatan ogoh-ogoh dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi ummat Hindu. Masyarakat Desa Linggoasri percaya, yang menyatukan mereka diatas tanahnya adalah budaya dan adat istiadat. Oleh karenanya, budaya dan adat istiadat disini menjadi benang merah atas kerukunan antar ummat beragama di Desa Linggoasri. Seperti yang disampaikan Pak Carik --sekretaris desa-, Bapak Taswono, "Linggoasri yang bisa saja kita sebut sebagai miniatur negara Indonesia ini terbangun atas keberagaman sosial. Kerukunan masayarakat Desa Linggoasari dalam bersosial bukan tak lain adalah karena kesamaan budaya dan adat istiadat sebagai warisan dari nenek moyang yang sama".
Akhir kata, penulis berharap diluar berbicara aqidah tauhid suatu agama dengan segala metode dakwahnya agar jangan sampai menjadikan masyarakat seperti di Desa Linggoasri ini mengalami kesenjangan sosial. Pemerintah harus belajar dengan Linggoasri, atas keadaan yang sudah ada sejak dahulu di Linggoasri. Karena masyarakat Desa Linggoasri sudah moderat jauh sebelum ada program moderasi beragama dari pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H