Aku hanya mendengarkan diskusi atau lebih tepatnya dongeng penuh caci maki ini. Aku terdiam, dan sesekali menanggapi. Mereka tak pernah tahu ketakutanku yamg sebenarnya. Ketakutan setelah melihat laporan yang disodorkan padaku. Rupiah dalam bentuk proposal itu yang membuatku takut. Takut pada resiko atau lebih tepatnya takut pada kenyataan bahwa ini salah, bahwa rupiah tak mudah dan murah memperolehnya. Bapak dan Mamak mereka sama saja, juga susah payah sudah mengusahakan rupiah. Miskin juga toh asalnya. Teriakan ini hanya dalam batin, dan aku malu. Cacat ini tak bisa kuhilangkan dan sudah jadi sejarah di otakku. Juga jadi sejarah diluar otakku. Dan dulu aku menerima rencana itu dan tanpa malu pula aku ikut mencaci. Sekarang tanpa malu pula aku diam. Cacat ini tak bisa kuhilangkan dan telah jadi sejarah.
Sejarah ini tak bisa kuhilangkan dan hanya bisa kusimpan. Suatu saatpun bau busuknya keluar dan tercium. Aku ingin keluar. Aku, kami, mereka, semua telah bersejarah dan sejarah tak hanya cerita tentang cinta dan kepahlawanan, didalamnya ada darah, peluh, dan air mata. Aku sudah muak dengan cerita kepahlawanan ini karena aku sudah ikut jadi penjahat lakon dan lakon penjahat di gelapnya cerita. Aku telah muak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H