Saat menjalani isolasi mandiri, kujalani semua dengan perasaan campur aduk. Yang bercampur kebanyakan soal rasa yang gak enak sebenarnya. Rasa sudah ga enak harus diaduk-aduk pula. Tapi so must go on. Apa yang terjadi terjadilah.
Untung saja laptop yang sudah berumur nyaris sewindu lamanya masih bisa lancar dipakai. Jadi saya bisa memanfaatkan waktu untuk menulis, atau menonton youtub. Mendengar music atau berselancar di mesin pencari.
Kekuatan terbesarku adalah dukungan dari keluarga. Anak-anak, isteri dan mertua tentu saja. Mereka semua bisa menerima kenyataan. Meskipun  pada akhirnya saya juga tau, bahwa mereka mendapatkan perlakuan khusus saat beraktifitas di luar rumah.
Contoh ketika ayah mertua adzan di mushola, maka yang datang berjamaah akan berkurang banyak. Maka kemudian ayah mertua memutuskan sementara tidak usah berjamaah di mushola. Anak-anak dijauhi teman-teman sepermainan karena ku.
Sementara isteri tentu saja bercerita tentang pandangan kurang enak dari tetangga lain. Ya. Korona ini sakitnya ga seberapa namun pedihnya luar biasa. Ini soal rasa dan empati cuuuk.
***
Ya saban hari isteriku berhitung kapan saya keluar dari kamar dengan merdeka. Aku tau ada rasa tidak sabar dalam dirinya. Sangat lumrah dan manusiawi. Sebesar kesabaran yang kami tumbuhkan sebesar itu juga ketidak sabaran akan tumbuh. Sebanding. Apa boleh buat pasrah dengan kawontenan.
Dari hari pertama setiap pagi dia menunjukan cintanya dengan mengatakan kurang 14 hari.
Esoknya, kurang 13 hari
Esoknya, kurang 12 hari