Mohon tunggu...
Kyai Matdon
Kyai Matdon Mohon Tunggu... -

Rois 'Am Majelis Sastra Bandung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Puisi dan Politik

9 Juni 2014   02:00 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:39 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Almarhum WS. Rendra menulis puisi tidak dalam rangka berpolitik, jika puisinya dinilai sangat politis tapi itu tidak meghilangkan estetika bahasa dan struktur yang dibangunanya. Begitupun dengan Wiji Thukul.

Akhir-akhir ini puisi bersliweran. Kesucian puisi dimanfaatkan politisi untuk menghujat lawan politiknya. Ini merupakan strategi baru dalam dinamika politik atau bisa juga sebagai pergeseran nilai menggunakan sebuah karya sastra untuk salingmenjatuhkan lawan?

Di sisi lain tak bisa dipungkiri bahwa para penguasa ini masih punya hati,yang menulis puisi adalah orang orang yang memiliki hati nurani lagi pula puisi milik siapa saja, tidak hanya milik penyair. Tukang becak, pedagang sayur, petani bahkan politisi berhak memiliki puisi. Meski tidak sepopuler beras, puisi adalah mahluk yang banyak diakui masyarakat pada umumnya.

Nah jika politisi menulis puisi entah dengan tujuan apa, itu sah sah saja, tapi fahamilah bahwa yang ada dalam benak politisi ialah kekuasan, jabatan dan kedudukan. Menulis puisi bukanlah sesuatu yang sakral, karena sakralitas bagi politisi ialah bagaimana ia bisamelemparkan musuhnya ke jurang kehinaan.

Lihat saja trend baru yang disodorkan Fadli Zon, menyerang lawan politiknya dengan puisi. Disini jelas ia menulis puisi bukanmenulis sejumlah pengalaman bathin, tidak menggambarkan realitas hidup, tapi berdasarkan birahi kekuasaan. Sekali lagi puisi semacam ini sah dilakukan oleh siapapun, namun apakah ini tidak lantas membuat puisi jadi ternoda?

Katakan dengan santai, puisi tidak pernah ternoda oleh politisi, tapi yang ternoda justru si politisi.

Terlalu gagah kalau saya mengatakan bahwa menulis puisi itu harus penuh estetika, idiom dan metefora metafora, dan terlalu cepat pula saya menilai kalau puisi yang ditulis para politisi itu baik.

Puisi adalah salah satu jalur  lalu lintas sastra yangramai dan berseliweran, setelah dicengkeram ahli survey Denny JA kini puisi dikepung politisi. Puisi kini adalah jalur lalu lintas untuk memuluskan jalan kehidupan sesunguhnya, setidaknya ada  ruang multidimensi yang menyuguhkan realitas kekuasan.

Puisi dan Kekuasan

Menengok kembali masa lalu, bahwa ternyata para raja dan atau pemimpin negara manapun tak jauh dari kehidupan sastra (puisi khususnya), sebut saja penguasa China Mao Ze Dong. Seorang teoretikus politik dan pemimpin komunis. Dia memimpin Republik Rakyat Cina (RRC), merk kebijakan Komunisnya dikenal sebagai Maoisme.

Tapi ternyata dibalik wajah seram dan dingin Mao, ia adalah “penyair”, menulis puisi adalah hobinya. Mao itu temperamen tapi romantis, ia sangat revolusioner dan liris. Ada puisi Mao berjudul “Patio Musim Semi Salju",puisi ini sangat terkenal, diterbitkan di sebuah surat kabar di Chongqing. Dalam puisinya, dengan penguasaan bahasa yang intelek dan cerdas Mao menggambarkan keindahan pegunungan megah dan sungai-sungai.

Puisi juga ditulis raja-raja atau Sultan di Pulau Jawa, dalam bentuk syair sesuai wilayahnya masing masing. Ada yang berbetuk pantun, macapat dll. Waktu itu, raja raja menang memliki intelektual tinggi dan sayang pada rakyatnya (kecuali raja dzalim).

Peradaban manusia terusbergulir, dan puisi terus berjalan bersama perkembangan peradaban manusia, puisi terus mempengaruhi hidup manusia, juga mempengaruhi dunia politik di dunia termasuk di negeri Indonenesia

Lewat puisi para pemimpin negara terus berupaya membanguan bangsanya. Mao Zedong sendiri merasa bahwa puisi adalah sarana yang cocok untuk mengekspresikan pikirannya. Karena puisi pulalah hati dan gairah dapat menyala dan berkobar. Puisi juga bisa “membuat marah” para pemimpin negeri ini (ingat kasus Rendra. Wiji Thukul dll)

Jadi jika kini banyak politisi berpuisi, biarkanlah mereka berpuisi, karena puisi akan bersih dari niat busuk mereka, santai saja. Ini menandakan bahwa penguasa juga butuh bahasa. Kita masih ingat kata “gebuk” dan “gembos” pada zaman presiden Soeharto. Kata-kata itu sangat “puitis” meski menyakitkan.

Sekarang puisi makin bersilweran di tubuh partai politik dan tangan politisi Indonesia, anggap saja puisi yang ditulis mereka adalah awal dari terbangunnya rasa kemanusiaan yang selama ini kurang dimiliki politisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun