Lewat puisi para pemimpin negara terus berupaya membanguan bangsanya. Mao Zedong sendiri merasa bahwa puisi adalah sarana yang cocok untuk mengekspresikan pikirannya. Karena puisi pulalah hati dan gairah dapat menyala dan berkobar. Puisi juga bisa “membuat marah” para pemimpin negeri ini (ingat kasus Rendra. Wiji Thukul dll)
Jadi jika kini banyak politisi berpuisi, biarkanlah mereka berpuisi, karena puisi akan bersih dari niat busuk mereka, santai saja. Ini menandakan bahwa penguasa juga butuh bahasa. Kita masih ingat kata “gebuk” dan “gembos” pada zaman presiden Soeharto. Kata-kata itu sangat “puitis” meski menyakitkan.
Sekarang puisi makin bersilweran di tubuh partai politik dan tangan politisi Indonesia, anggap saja puisi yang ditulis mereka adalah awal dari terbangunnya rasa kemanusiaan yang selama ini kurang dimiliki politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H