Mohon tunggu...
Aiy-aiy Iin
Aiy-aiy Iin Mohon Tunggu... wiraswasta -

penggemar daging matang dan penikmat coretan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bu, Bolehkah Aku Membunuh Suamiku?

17 Oktober 2013   13:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:25 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Giwang Prameswari. Mereka memanggilku Giwang. Ayah menamaiku Giwang nama lain dari semacam perhiasan. Dan menurut ayah,aku seorang perempuan yang berharga layaknya perhiasan. Didikan ayah dan ibu membentukku  menjadi perempuan bertradisi Jawa karena kedua orangtuaku berdarah Solo, harus luwes, harus feminim, dan bertutur lemah lembut. "Perempuan harus menurut pada suami" kata ibu berkali-kali diucapkan sebelum aku menikah dengan Pram,kekasihku semasa kuliah. Siapapun pilihanku, orangtuaku setuju, yang penting dia takut dengan Tuhan dan bersikap baik. Pram memiliki peringai yang baik dan pekerjaan sebagai guru Matematika di salah satu SMA negeri di Solo membuat orangtuaku semakin bangga . Tiga bulan berpacaran dan sebulan kemudian memutuskan menikah. Aku sangat senang mas Pram memutuskan untuk melamarku,katanya dia takut aku keduluan dilamar orang. "Saya serahkan Giwang padamu,Pram. Jaga dia baik-baik" kata ayah sambil memeluk Pram. Pram membawaku pindah setelah pernikahan kami, karena dipindah tugaskan mengajar ke kota. # Aku tersungkur saat Pram melayangkan pukulannya tepat di pelipis kanan, tidak puas dengan itu, dia  mencengkram leherku dan menyeretku ke kamar mandi. Tangis kesakitanku pun tak membuatnya berhenti. Aku merasakan pelipis kananku sobek, dan air kran sengaja dia hidupkan supaya tangisku tidak terdengar tetangga, lalu berkali-kali mengguyur kepalaku. Air berbaur dengan darah menetes dari ujung dagu dan ujung rambut, lantai berwarna putih pun terlihat menyerupai genangan merah berbau anyir. Entah apa yang di pikirannya Pram, dia tersenyum sambil mengumpat kasar hingga permintaan maafku tidak di dengar olehnya. Dia bersikap seperti itu, karena aku tidak memberikannya senyum saat dia pulang kerja. "Perempuan harus menurut pada suami" masih terngiang di kepala perkataan ibu. Aku pun diam. # "Ini adanya nasi satu bungkus, kita makan berdua ya sayang" katanya lembut "Gak usah, mas saja yang makan, aku belum lapar" jawabku. Aku tahu sepulang kerja suamiku pasti lpar dan aku tidak tega membagi sebungkus nasi untuk dua perut. Tapi mas Pram memaksaku untuk memakannya. Akhirnya aku memakan nasi tersebut berduaa. Aku melihat raut muka Mas Pram yang lembut berubah menjadi merah padam. Tapi aku pura-pura menunduk dan memakannya bersama. Belum selesai aku menelan sesua,  mas Pram mencengkram leherku, diseret sampai ke ruang tidur. "Kenapa, loe nyesel hidup miskin ma gue?loe pingin pisah?" Katanya sambil menendang bahu kananku. Aku tersungkur sambil memuntahkan nasi yang masih bersarang di kerongkongan. Aku menangis sambil tertunduk, aku tidak berani berargumen saat dia mulai marah. Aku hanya diam dan menangis. mas Pram lalu mengambil tissue dan menyuruhku untuk membersihkan muntahanku dan mulutku yang kotor karena muntahan diseka dengan lembut. "Sudah tidak usah menangis, maafin aku ya bunda." katnya tiba-tiba melembut."Perempuan harus menurut pada suami" masih terngiang di kepala perkataan ibu. Aku pun diam. # "Ini siapa mas?" kataku sambil memperlihatkan isi pesan mesra yang ditulisnya untuk seorang perempuan. "Gak siapa-siapa sayang, dia hanya temanku" jawabnya menenangkan emosiku "Aku tahu dia berkali-kali menelpon. Aku tetep diam mas. Dan sms mesra ini bukti mas selingkuh,kan?" Ungkapku sambil membanting handphone. Aku bisa menerima perlakuan kasar Mas Pram tapi aku tidak terima kehadiran orang ketiga dalam rumah tanggaku. Mas Pram naik pitam dan memukul kepalaku habis-habisan. Dia menendang bagian belakang punggungku. Tidak puas dengan itu, dia lempar gelas yang hampir melukai kakiku. Aku ketakutan nafasku terengah, pandanganku mulai buram. Aku terkulai hampir pingsan, tapi aku masih sadar apa yang terjadi. Aku melihat dia mengacungkan gunting ke arah wajahku turun menuju leher, dada dan mulai menusukkannya ke lengan kiriku. Aku merasakan ngilu dan perih dilengan, nafasku terengah dan entahlah aku tidak sadar lagi... Aku tersadar kembali,  saat merasakan ada yang menindihku dan ada yang masuk kedalam vaginaku... "Perempuan harus menurut pada suami" masih terngiang di kepala perkataan ibu. Aku pun diam # "Perempuan harus menurut pada suami" kata perempuan itu berkali-kali sambil menunduk dan membentur-benturkan kepalanya ke dinding. "Siapa mbak itu namanya?" Tanya dokter Farah yang baru saja bekerja di Rumah Sakit Jiwa "Itu Giwang dok. Baru dua bulan dia dirawat disini" jawab perawat "Kenapa itu mbak. Kasian... Kasih obat penenang, ikat aja dia diranjang biar dia tidak bisa membenturkan kepalanya seperti itu" pinta Dokter Farah "Sudah dok, tapi dia terus berontak dan mencopot pengikatnya lalu membentur-benturkan kepalanya di tembok lagi, Giwang korban KDRT dok."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun