Ada pula yang menafsirkan bintang kejora dengan mitos Manarmakeri dari Biak. Manarmakeri dikisahkan menderita penyakit kudis yang membuat dia dikucilkan dari kampungya. Manarmakeri bertemu dengan Sampari (bintang pagi/bintang kejora) yang penuh kesaktian. Mitos soal Manarmakeri ini juga berhubungan dengan Koreri, keadaan hidup sejahtera dan abadi. Suatu saat Manarmakeri akan kembali ke kampungnya membawa Koreri. Koreri sendiri menjadi gerakan mesianisme. Hal ini dijelaskan dalam catatan kaki 'Papua Road Map' karya Muridan dan kawan-kawan.
Setelah Bintang Kejora karya Nicolaas terpilih menjadi bendera Papua Barat, maka pada 1 Desember 1961, bendera itu dikibarkan di samping Bendera Belanda untuk pertama kalinya. Kelak, tanggal itu akan diperingati sebagai berdirinya Negara Papua Barat yang diakui otoritas Belanda.
Proses politik berlanjut melewati Perjanjian New York. Papua akan diserahkan Belanda ke Indonesia melalui lembaga PBB bernama UNTEA. Setelah Papua diserahkan ke UNTEA pada Oktober 1962 dan enam bulan kemudian diserahkan ke Indonesia, Jouwe meninggalkan Papua dan pergi ke Belanda.
Dia menetap di kota Delft, bersumpah tak akan pernah kembali ke tanah kelahirannya jika masih diduduki oleh Indonesia. Adapun gerakan melawan Indonesia di Papua terus berlanjut saat Nicolaas tinggal di Belanda. Nama Nicolaas diusulkan oleh 'Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat', cikal bakal OPM, sebagai wakil presiden yang mendampingi presiden Markus Kaisiepo. Nicolaas yang berada di Belanda yang semula ragu kemudian berhasil diyakinkan soal perjuangan di Papua Barat (kawasan yang sekarang disebut sebagai Provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia).
Hingga 2008, Jouwe masih menegaskan sikap untuk tak kembali ke Papua yang menjadi wilayah Indonesia. Hingga menginjak 2009, ada surat dari Indonesia yang sampai ke Den Haag. Surat itu berasal dari Presiden ke-7 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) khusus untuk Nicolaas.
Sebagaimana diceritakan Nicolaas dalam bukunya, surat itu dibawa oleh delegasi Fabiola Ohei, Ondofolo (Kepala Adat) Frans Albert Yoku, Nicolas Simeon MEset, pilot putra Papua lulusan ITB, dan Pendeta Adolf Hanasbey. Semua orang itu mendatangi Nicolaas khusus untuk mengantarkan surat dari SBY. Isi surat itu adalah ajakan SBY kepada Nicolaas untuk pulang ke Tanah Air.
"Saya menilai surati ini ditulis halus sekali, sebuah undangan yang bagus, dan saya merasakan bahwa surat ini ditulis dengan hati dan tulus. Surat ini ditulis bukan dengan otak tapi dengan hati. Tuhan Yesus bersabda: Percayalah dengan hati, jangan dengan otak," kata Nicolaas.
Dia tersentuh oleh surat itu dan segera ingat ayat Injil, bahwa yang lembut hatinya akan mewarisi bumi. Nicolaas kemudian melangkah menemui Duta Besar RI di Belanda saat itu, Fanie Habibie dan segera akrab sambil bertukar pantun dalam Bahasa Ambon.
Segera terbayang masa lalu perjuangannya memerdekakan Papua dari Indonesia. Kali ini bayangan itu tak disertai heroisme. "Saya telah menyadari bahwa yang diperjuangkan selama ini merupakan pilihan yang salah. Kini saya melihat bahwa perhatian pemerintah Indonesia dan kondisi politik sudah berbeda terhadap Papua," kata dia.
"Saya akan kembali selama-lamanya di Papua, Indonesia. Sekali Indonesia merdeka, tetap merdeka," kata salah satu tokoh utama dalam sejarah OPM ini. Nicolaas akhirnya berangkat ke Jakarta dan melanjutkan terbang ke Papua di usianya yang ke-85 tahun. "Saya mesti pulang, pulang dengan hati gembira."
Dia bertekad untuk membaktikan sisa hidupnya untuk kemajuan tanah kelahiran. Nicolaas tutup usia pada 16 September 2017 pada usia 93 tahun di Tanah Air dalam kondisi sudah menjadi Warga Negara Indonesia, dan telah mendapat penghargaan dari Presiden SBY berupa Bintang Jasa Nararya. (Sumber : Detik)