Cerita tentang segelas kopi takkan ada habisnya, banyak moment dan kebersamaan yang tercipta saat segelas kopi di suguhkan di atas meja, aneka warna cerita kan mengalir deras di sana, entah suguhan kopi lokal maupun kopi mancanegara, dari yang murahan hingga yang mahalan, dari yang gretongan (gratisan) Â hingga bayar kontan, dari yang sengaja di buru hingga kiriman teman.
Bicara soal kopi kiriman, beberapa hari ini rumah di sibukkan oleh petugas jasa pengiriman barang sebut saja JNE dan TIKI, bukan karena barangnya yang mereka sebutkan, mereka pusing nyari alamat penerimanya yang tanpa nomor rumah, tentu saja menyulitkan pengirim, yang berujung pada bertanya dari ujung jalan hingga dekat rumah, menanyakan alamat yang tertera, sementara nomor telepon yang tertera berdering tapi tak diangkat karena kebiasaan saya, Â manakala nomer yang tak terdaftar takkan di angkat.
Singkat cerita, ternyata teman-teman yang mengirimkan kopi itu hampir semuanya pembaca Kompasiana, terutama membaca link yang saya share di media sosial baik, WA, Facebook maupun Twitter.
Mereka beralasan kenapa kirim kopi itu, Â karena sering membaca puisi tentangn kopi di Kompasiana sebagaimana yang saya buat dan bagikan ke teman-teman di media sosial.
Teman saya beranggapan bahwa membuat puisi itu membutuhkan pemikiran yang luar biasa, hingga kalau membuat puisi kopi dipastikan punya selera kopi yang tinggi pula, itu anggapan teman, padahal saya sendiri suka kopi pada Moment-moment tertentu tidak setiap waktu harus ngopi, dan tentu saja puisi kopi itu fiksi di Kompasiana.
Namun beberapa teman seolah tak percayaa kalau saya jarang ngopi hingga akhirnya mereka minta alamat jelas saya fikir hanya candaan biasa, tidak tahunya beneran satu persatu kiriman kopi dari beberapa daerah berdatangan, dan sudah dua hari ini sudah ada 4 (empat) Â bungkus kiriman kopi daerahnya masing-masing, sungguh luar biasa ternyata teman-temanku ini.
Tak berapa lama datang juga kopi dari temanku yang sedang berdinas di Aceh, kebetulan dari diangkat sebagai TNI AD, langsung di tempatkan di Kota Serambi Mekkah tersebut. Kemasannya warna coklat kehitaman, nama kopinya Kopi Aceh Gayo  kasar sih, tapi pahitnya mantap, saat pagi dihidangkan bersama serabi dan goreng tempe seperti Eyang Kakung.
Naahh...Barusan siang ini, Â temanku Moh. Ramdan, yang sejak keluar SD pindah mengikuti dinas bapaknya ke Manado, tiba-tiba setelah membaca Puisi Kopi yang saya share di FB, langsung saja kirim kopi khas Manado Kotamobagu Sulawesi Utara, kopi yang 100% kopi murni Robusta-Arabika dengan kemasan plastik Coklat ini, aromanya cocok buat keluarga dan pantas untuk tamu-tamu kita.
Bersamaan dengan kiriman kopi dari Manado, secara kebetulan, bersamaan pula dengan kiriman teman Pramukaku yang berkenalan saat kegiatan Karang Pamitran tingkat Nasional di Cibubur Jakarta tahum 2013, namanya Kak Putri, Â kontingen Minahasa Sulawesi Utara, Pembina Pramuka di salah satu SMP di Minahasa ini sering bacain Puisi Kopi di Kompasiana yang saya share di facebook.
Katanya merasa berhutang budi saat perkemahan di kasih sirup Tjampolay khas Cirebon, jadi sengaja begitu ada puisi kopi inget Tjampolay, maka pada akhirnya mempaketkan juga kopi khas daerahnya, Â yaitu kopi bubuk Tompaso, Â murni 100% kopi Arabica dengan kadar asam rendah, rasanya enak dan mantap bila di minum sore hari, dan juga aromanya arabica nya dapat banget seiring dengan kepulan asap dari segelas kopi.