Mohon tunggu...
Kakthir Putu Sali
Kakthir Putu Sali Mohon Tunggu... Administrasi - Pecinta Literasi

Merindu Rembulan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Obrolan Kopi Pagi "Bahaya Depribumisasi"

21 Oktober 2017   07:42 Diperbarui: 21 Oktober 2017   09:58 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi sabtu yang ceria ini sengaja saya tidak gowes masuk kampung keluar kampung namun ke arah keramain kota kecilku, dengan nemuin beberapa rekan lama yang dulu  dalam satu perjuangan dengan suguhan kopi Nasgitel (Panas Legit Kentel)

Dari rekan yang sempat di temui, obrolan yang paling menarik dengan kawan lama, kawan ribut dikala rapat apapun, namanya Bung Ari bergaris nasionalis tapi juga sering di panggil Ustadz,

Apapun yang  saya tanyakan pasti dijawab panjang namun masuk akal, karena selalu bawa dalil dan referensi lainnya atas ucapan yang di sampaikannya.

Obrolan pagi dari mulai Pilkada serendak 2018, tentang rekomendasi Cawali yang belum turun hingga pernyataan Gubernur terpilih di saat pelantikan yang menjadi viral di medsos,

Dari beberapa obrolan yang menarik tanpa sadar saya rekam melalui hanphone dan dicoba dituliskan pada pagi ini.

"Saya masih penasaran dan gagal faham total tentang  polemik diksi "pribumi" _a la_ Anies Baswedan yang sedang _hot_ diperbincangkan. 

Sengaja dalam obrolan ini saya menggunakan judul seperti di atas, supaya saya, dan kita semua tidak terjebak dalam _*"overgeneralisasi*_ dalam memahami suatu fenomena dan persoalan ( malu loh, kalau kita dari kalangan akademis dan intelektual terus terjebak dalam faham _*"overgeneralisasi*_). Satu hal lagi, penyebutan agama dalam tulisan ini bukan berarti ada maksud SARA, tapi hanya sekedar panduan supaya ada sikap kritis dan proses rasionalisasi dalam pemikiran kita" kataku saat awali obrolan pagi ini, dan akhirnya sang Ustadz kepancing juga dengan awabanya seperti dibawah ini

*Pertama* kita harus tahu kan,bahwasanya proses akulturasi ajaran Islam di negeri ini telah melewati jalan yang teramat panjang. Konsekuensinya adalah unsur Islam telah melebur,terintegrasikan ke dalam budaya lokal masyarakat Indonesia. Islam bukan lagi menjadi sesuatu yg asing. _*Islam telah mempribumi*_. Budaya orang Melayu itu adalah Budaya Islam. Buya Hamka pernah mengatakan *bahwa kata "Minang" dan "Minangkabau" artinya Islam, shg jika Islam terlepas dari Minangkabau, maka yang tersisa adalah "kabau" (kerbau)*. Coba Anda perhatikan, betapa indahnya integrasi atau mungkin _"chemistry"_ yg terjadi antara budaya Jawa dan Islam. Kelak kaum modernis menyebut perpaduan ini sbg _sinkretisme_ ( suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan. 

Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan). Tradisi serta upacara lokal ditambahkan nuansa Islam. *Lebaran* adalah perpaduan _'Iedul Fitri_ dan _Grebegan_.  Kemudian, bulan-bulan Islam tersublimasikan dalam bulan-bulan Jawa Tahun Saka , misalnya Muharam menjadi Suro, Dzulqo'idah menjadi Hapit.

*Kedua*, sejak kedatangan faham puritanisme yang dibawa oleh kaum modernis, maka terjadilah proses _"depribumisasi"_. Lambat laun unsur-unsur lokal yg sudah menyatu dgn Islam dihapuskan ( istilahnya _dibid'ahkan_), yg berarti adanya penghapusan kontribusi budaya lokal terhadap Islam. Islam kaum modernis ini cenderung membuat dikotomi yang tajam dengan nuansa pribumi. Ada pandangan bahwa inilah alasan politis mengapa ideolodi Islam tidak serta merta diterima secara luas. Islam dan budaya lokal menjadi berseberangan. Kaum modernis lebih terfokus di kawasan kota,ketimbang di desa yang _notabene_ basis rakyat kecil. Faham komunisme pun masuk pada "lahan-lahan" orang Islam yg ditinggalkan ini.

*Ketiga*, di lain sisi proses Islamisasi ini dijadikan referensi kaum Nasrani untuk terus konsisten dalam melakukan integrasi ajaran Nasrani dalam budaya lokal. Maka kemudian muncullah Gereja Pasundan, Gereja Jawa, HKBP. Proses akulturasi ini sejalan dengan prinsip _*indigenisasi (pribumi)*_ dan _*kontekstualisasi*_ dalam evangelisme Kristiani. Secara sederhana, prinsip indigenisasi dimaksudkan untuk *menggunakan bentuk pemikiran dan tindakan yang akrab dengan lingkungan lokal*. Sementara *James Oliver Buswell* (1895-1977) seorang pendidik _presbytarian_  mengatakan bahwa prinsip kontekstualisasi evangelisme adalah *membuat injil dapat dipahami dalam idiom bahasa dan budaya penerima*.

*Keempat*, kesimpulannya adalah proses *"DEPRIBUMISASI"* yang dilakukan oleh kaum modernis Islam justru menjadi benih terlepasnya ruh dan substansi penyebaran Islam secara lebih _massive_, lebih meluas. Keadaan yang justru sebaliknya betapa dengan *"INDIGENISASI (KEPRIBUMIAN)"* dan "KONTEKSTUALISASI" penyebaran ajaran Nasrani menjadi lebih luwes,fleksibel dan mudah melebur dengan budaya lokal, sehingga mudah diterima.

Nah, kalau kita orang Islam, apakah kita masih menganggap diksi "PRIBUMI" (terlepas dari siapa yang menyebutkannya) itu salah?? Justru menurut saya sebagai orang Islam, yang berbahaya itu adalah *"DEPRIBUMISASI"!!!* . waaahh... Obrolan pagi yang menarik sembari ngopi bersama Ustadz Ari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun