Mohon tunggu...
Kutu Kata
Kutu Kata Mohon Tunggu... -

No comment

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Buku Sudah Di Cetak, Lalu Apa Lagi?

28 Oktober 2012   13:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:17 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Essai: Tentang Sebuah Buku

Sebuah buku sudah di cetak, lalu apa lagi?.

Apakah aku terlalu cepat mengambil keputusan?.  Mencetak beberapa cerpen-cerpenku dalam sebuah buku. Dengan lay out yang grafis dan judul yang cukup fenomenal.  Lalu apa lagi?.

Penerbitan main stream, apakah mereka mau menerima?. Atau kumpulan cerpenku cuma jadi sampah maya.

Lalu kuputuskan untuk bekerja sama dengn penerbitan indie. Bukankah sekarang era nya indie, jika formalitas dan kekakuan yang ada di penerbitan main stream maka kebebasan dan fleksibilitas yang dikedepankan oleh penerbit indie.

Aku bebas, boleh menggunakan jasa editor. Atau sesuka hatiku saja karena sang "penggunting" adalah aku sendiri, egoku sendiri.

Dari mulai lay out sampul, desain gambar, tata warna dan jenis huruf, aku tentukan sendiri. Beberapa naskah (lagi-lagi yang menurutku 'keren atau pantas untuk dibukukan) telah ku pilih dan ku email ke penerbitan indie itu. Beberapa kali aku harus komunikasi kan by email hingga aku benar-benar conform dengan sampul depan buku pertamaku.

Hmm, aku pikir, sampul dengan dominan warna black and white akan menjadi ciri khas buku-bukuku nanti. Subyektifitas yang menjadi dasar pilhanku karena aku hanya mengandalkan rasa dan intuisi ku saja sebagai seorang "sok" seniman.

Uang ongkos cetak dan perjanjian fee royalty sudah lebih dulu aku transfer dan tanda tangani. Karena itu sudah menjadi persyaratan awal sebagai langkah keseriusanku untuk mencetak sebuah buku.

Kini buku sudah dicetak, sebuah buku kini sudah ada ditanganku. Dari aku terus membolak-balikkan isi buku, kemudian ku baca lagi kata pengantar, lalu ku lihat sampul buku yang menurutku 'keren. Pada halaman pertama buku itu sebuah kertas putih yang hanya berisi judul kumpulan cerpenku kemudian aku tanda tangani dengan bangga. Ah, sebuah perbuatan norak yang aku lakukan sebagai penulis pemula.

Siapa yang tidak bangga?, mencetak buku adalah cita-cita tertinggi dari setiap penulis. Wow, 'keren kini aku sudah jadi penulis!.

Lalu apa lagi?.

Siapa yang akan membeli buku ku?. Ah, aku kok jadi ragu!. Siapa yang sudi membacanya mungkin itu saja harapanku. Kebangganku kini berbanding terbalik ketika aku berfikir, hendak ku kemana kan buku yang telah ku cetak ini?.

Minimnya ilmu pemasaran. Tidak adanya survey pasar lebih dahulu, trend apa yang sedang diminati oleh pasar?. Baru sekarang terasa kalau aku cuma bermodalkan idealisme ku saja. Sebuah idealisme atau sebuah kekonyolan menjadi tipis sekali perbedaan nya. Cita-citaku yang menggebu kadang mudah kandas karena kurang percaya diriku lebih sering mengemuka jika melihat realita yang ada.

Jangankan mengharap untung besar dalam penjualan buku itu, ada yang mau membaca dan memberikan atensi dan komen atas isi buku ku saja sudah aku syukuri. Nama besar seorang penulis, hahahaha... kini cuma jadi impianku saja. Siapa yang kenal aku?, tetangga-tetangga dan saudara-saudaraku saja mengenalku  sebelum mencetak buku dan sesudah mencetak buku sama saja. Apa ada yang berubah pada diriku?, kurasa sama saja. Cuma kepalaku saja yang kadang suka "membesar" karena sering mengidap penyakit Ge Er.

Tumpukan buku-buku di ruang perpustakaanku telah penuh sesak. Sebuah buku karyaku sendiri hampir tak ada tempat di rak perpustakaanku sendiri. Apakah aku mencetak buku hanya ingin menambah sesak saja?. Pikiran konyol itu membuat lompatan-lompatan pikiran, gagasan dan ide-ide ku berkelana kemana-mana, bebas mengembara karena ia tak dibatasi dimensi.

Aku pernah membaca, berapa hutan yang akan dirusak demi mencetak sebuah buku?. Mengapa sejauh itu aku berfikir, siapa sebenarnya yang telah merusak hutan?, merusak bumi?. Jawabannya adalah manusia.

Pikiranku melompat lagi, Bayangkan jika sebuah judul buku dicetak dalam beberapa eksemplar?. Berapa buku yang dicetak dalam sehari ini diseluruh dunia dikalikan dengan jumlah rata-rata eksemplar, akan menghasilkan angka yang dahsyat. Angka yang dahsyat itu jika dikalikan 365 hari dalam setahun akan menghasilkan sebuah angka yang pantas menjadi alasan manusia menebangi pohon, merusak hutan inchi demi inchi, merusak bumi hektar demi hektar setiap hari diseluruh muka bumi.

Lantas, jika terjadi bencana pada alam, kita mudah saja menuding bahwa Tuhan tidak adil. Bukankah ketidak seimbangan ekosistim pada bumi kita sendiri yang buat?.

Sebagai makhluk yang "mencoba" berbudaya dan beradab, aku pun miris melihat kenyataan itu. Keputusanku mencetak buku adalah sebuah keputusan yang terburu-buru, hanya mengejar popularitas dan nilai ekonomis semata.  Sementara banyak sisi lain yang kurasa lebih bijak sebagai wadah tempatku ber-ekspresi. Melalui blog dan web site pribadiku, aku bisa terus berkarya tanpa dihantui perasaan sebagai perusak hutan. Blog ku di Kompasiana, merupakan wujud eksistensiku dalam dunia penulisan. Walau hanya ada di pojok sepi, dilirik saja pun, aku sudah bersyukur.

Sebuah Essai Kutu Kata, 281012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun